Rabu, 07 Juni 2023

Menua

Saya melihat kakek menua di tahun-tahun terakhirnya. Sungguh pengalaman yang berbeda, mengingat nenek dulu wafat di usia jauh lebih muda. Secara tiba-tiba, karena serangan jantung. Tidak ada yang menduga pun melihatnya merenta sebagaimana kakek. 

Kakek, dalam setahun terakhirnya, mengalami penurunan kemampuan yang sangat drastis. Saya ingat ketika mendapati paman saya sedang menangis tersedu (pertama kali saya melihatnya demikian) seusai membantu kakek di kamar mandi. "Dia (kakek) bahkan tidak bisa mengangkat gayung, padahal airnya sangat sedikit," katanya. 

Saya melihat kakek saya kebingungan sambil berkata, "Saya mau pulang," di saat ia sedang berada di rumahnya sendiri - yang telah direnovasi - menyangka itu rumah tante. Saya mengerti bagaimana ia memilih tidur di ruang tamu; satu-satunya tempat di mana ia bisa melihat ke teras depan, dan meyakinkan diri bahwa ia benar sedang di rumahnya. 

Ia melihat orang-orang datang silih berganti. Orang-orang yang bahkan tidak ia kenali. Ia memanggil anakku dengan nama sepupuku, sepupuku dengan nama tanteku, dan seterusnya. Sungguh tak bisa kubayangkan betapa melelahkan baginya melihat wajah-wajah terus berubah sepanjang waktu dengan nama yang sama, atau nama yang terus berubah dengan wajah yang sama. Tertidur di suatu waktu dan terbangun di waktu yang jauh berbeda. Memori dan waktu seolah sedang bermain petak umpet mengelabui inderanya, menanti untuk ditemukan entah di mana.

Maka ketika suatu waktu ia keluar rumah secara diam-diam - yang membuat semua keluarga panik - dan pulang membawa jam dinding, saya baru bisa mengerti. Ia kehilangan waktu, dan berusaha membelinya meski dengan semua pundi di kantongnya. Tidak hanya itu, ia berusaha mengenalnya, menggenggamnya, melibatkan diri dalam perputaran detiknya. Agar ia tidak tertinggal lagi di masa lalu dan berusaha (retry) mengejar nama dan wajah-wajah. 

Betapa lelahnya masa tua itu bahkan bagi mereka yang terlihat hanya berbaring. Sungguh masa muda yang akan pergi ini memang harus sungguh-sungguh dimanfaatkan. 

Allahummaghfirlahuma.

Jumat, 19 Mei 2023

Si Paling Surga


"Iya deh, yang punya orang dalam di surga..."
"Kayak surga punya dia sendiri saja!"
"Cieee si paling surga!"

Saya selalu takjub dengan tulisan-tulisan tak berwajah di sosial media. Meski puluhan tahun hobi menulis, saya masih terperangah dengan kekuatan kata-kata yang tidak pernah terlintas di benak saya! 

Yang sering luput adalah, pemiliknya kadang tidak menyadari magisnya kata yang diketiknya dan pengaruhnya terhadap orang yang ditujunya. 

Padahal, di balik dunia maya, mereka yang disebut "Si paling surga" mungkin sedang menangisi dosa-dosa mereka yang sampai sekarang belum bisa mereka tinggalkan.

Bisa jadi, unggahan mereka adalah untuk melawan diri yang ingin mengkhianati postingan itu sendiri.

Bisa jadi, mereka hanya takut membuat duri dalam media sosial yang kelak akan menusuk kaki mereka sendiri. 

Ya, war dengan diri sendiri ternyata lebih sulit dari melawan ratusan ribu orang lain. 

Mungkin karena, menghadapi diri sendiri adalah 24/7 non-stop online
tanpa block
tanpa turn off comments
tanpa delete

Dan yang nyata di dunia ini sebenarnya adalah maya di akhirat
Dan segala tentang surga atau neraka ternyata bukan urusan nanti
       tapi sekarang; kesempatan
       mendapatkan tiket yang
       tak akan terulang.

Sabtu, 21 Januari 2023

Sabar

Siang ini, saya mencoba merakit kembali potongan teori dari media ini dan itu, menjadikannya sebuah kolase utuh, dan gagal. Jari saya sepertinya terlalu kuat menggenggam sekaligus terlalu lemah mengangkat; kepingan itu berserakan, menempel di tempat tak seharusnya, tak berbentuk pun bernilai. 

_Dalam Al Qur'an, sinar matahari disebut dhiya'. Cahaya bulan disebut nur._

Sejenak, sy melihat diri saya sedang duduk di bangku SD, sedang mencatat pelajaran tentang perbedaan sinar dan cahaya. Saya terpaku. Kepingan yang berusaha saya susun adalah sabar. Yang teorinya begitu indah, konsepnya nyaris sempurna. Tapi sedetik menjalaninya, saya gugup.

_Rasulullah ﷺ menyebut sabar sebagai dhiya', shalat sebagai nur._

 Sabar — seperti matahari — sinarnya adalah sumber, bukan pantulan. Sarat energi, penuh panas.
Meski sekilas, sabar tampak seperti air tanpa riak. Tenang, hening. Nyatanya, menahan diri kerap makan energi tidak kalah banyak ketimbang meluapkan emosi. 

_Sabar itu ada tiga. Yang pertama, sabar dalam ketaatan. Kedua, sabar dalam menjauhi maksiat. Lalu, sabar dalam menghadapi takdir._

Mungkin pelajaran yang satu ini, adalah subjek seumur hidup. Dhiya' dan nur adalah kebutuhan seumur hidup. 

_“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS. Al Baqarah: 45)_

Selasa, 03 Januari 2023

Puisi Mas Nuh

Tadi siang, aku tidak main bersama ibuku

Ibuku membuatkan susu
tapi bukan jam 10;
                              aku mengingatkannya dulu.

Rabu, 31 Agustus 2022

Jebakan

"Ya Rabb-ku, ... jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala."
(Surah Ibrahim: 35) 

Ia, seorang nabi, Khalilullah, bapak para nabi. Tapi, ya, ia takut. Takut diri dan keturunannya berbuat kesyirikan. 

Saya terhenyak. Saya bukan siapa-siapa. Anak nabi, bukan. Seorang 'alim, bukan. Karib dengan 'alim pun tidak. 

Masih merasa aman? 
Hanya dengan mengantongi KTP 'Islam'? 

_Tidak ada yang takut akan kesyirikan dan kemunafikan kecuali orang-orang mukmin._

Merasa aman adalah jebakan!

Saya mendengar warna. Melihat atribut. Hilang di tengah ramai gempita.
Dan masih merasa aman? 

Batas itu tipis. Terus menerus menipis.

Saya paham benar bahwa tidak benar paham dan dunia benar-benar tempat kesalahpahaman. 

_Wallahu waliyyut taufiq._