Perlahan tapi pasti, makhluk-makhluk kecil bersayap itu mendatangi satu-satunya lentera yang mereka biarkan menyala di halaman belakang. Sinar itu tak benderang, tapi menjadi sonar pemikat hampir ribuan laron-laron yang diam-diam membuat dinasti di sekitar pondok mereka di lembah.
Dalam gelap, mereka mencinta.
Dalam gelap, mereka marah.
Dalam gelap, mereka takut sendiri.
Ketika adzan isya berkumandang, laron-laron itu mulai goyah. Satu per satu sayap mereka patah. Jatuhlah mereka ke tanah. Saatnya hidup kembali bersuara. Malam kembali terang. Terus begitu, dalam lingkaran rutinitas waktu.
Suatu hari, laron-laron itu tidak datang. Yang satu berpikir, mungkin para laron sedang bermutasi, atau masih dalam masa inkubasi. Entahlah, yang lain bahkan tidak mau tahu kenapa. Yang penting mereka tidak lagi terusik kedatangan pengganggu kecil yang beterbangan di mana-mana, itu sudah cukup.
Tapi ada yang aneh. Ganjil. Semua lampion memang bisa menyala bebas tanpa serangan liar. Maka tak lagi ada gelap yang memaksa mereka lekat. Maka sibuklah mereka dengan ruang sendiri-sendiri, tidak dilanda takut gelap, tidak butuh teman. Tapi juga tidak ada alasan untuk saling bersandar, atau sekedar merasakan detak jantung satu sama lain untuk mensyukuri hidup. Tidak ada alasan untuk memeluk -- kalah oleh segan.
Mendadak mereka rindu laron-laron itu. Diam-diam mereka berharap diganggu.
Dalam doa yang senyap, mereka pun meminta alam memanggil laron kembali.
Senja ini, ribuan kepakan bising itu kembali. Mereka terkejut melihat serangga-serangga itu, tapi tidak ada yang mengalahkan terkejutnya mereka melihat wajah satu sama lain -- yang sama bergejolak bahagia!
Mereka lalu sadar: ternyata mereka saling rindu.
Dalam marah, dalam bosan, dalam senang, mereka selalu merindu.
Malam itu laron-laron berpesta bersama sepasang manusia itu. Energi berpendar dari dalam pondok; energi yang jauh lebih hangat ketimbang api lentera satu-satunya di halaman belakang.