Rabu, 29 Juli 2020

Kilas


Semua pasti takjub saat menyadari bagaimana Allah memilihkan pribadi-pribadi tertentu ke dalam hidup kita. Orang-orang yang turut membentuk serta membantu tumbuh dan menua. Pun, orang-orang yang lekat padahal tak ada ikatan darah: teman.


Beberapa waktu lalu saat merapikan isi harddisk, saya tertegun. Sepertinya sekama ini saya untung banyak. Duh, kenapa baru sadar sekarang?

Untung banyak karena, totally, saya diberi teman-teman yang sungguh (teramat sangat) baik untuk level orang seperti saya. Saya ingat bagaimana menenangkannya mereka saat saya kesulitan. Bagaimana mereka kerap mengesampingkan kepentingan sendiri untuk membantu saya. Atau bagaimana mereka menasihati, menghibur, bahkan sekadar mendengarkan keluhan panjang lebar, yang sebenarnya tidak penting bagi mereka. What an amazing rizq, Biidznillah! 

What I regret is that I forgot one thing: sudah jadi teman yang cukup baikkah saya? Apa mereka juga mendapatkan kebaikan yang sama dari saya? I really doubt it. Rasanya saya kurang memberi apa yang sepantasnya mereka terima.

I truly love them! 
Mereka yang berkenan mengangkat tangan, memohonkan saya hidayah dan ampunan pada Allah. Yang (semoga) berkenan mencari jika kelak di surga tidak melihat saya.
That’s what friends are for, rite? May Allah reunite us in jannah, aamiin.

Senin, 13 Juli 2020

Telaah Setelah Lelah

Luka Fisik

Dulu, saya pernah bertanya pada seorang ibu yang renta, "Bagaimana rasanya melahirkan berulang kali? Apakah proses melahirkan yang kesekian kali sudah tidak terasa sakit lagi?"

Ia tertawa sambil mengelak. "Tentu tidak. Tetap sakit," katanya. Bahkan, beberapa mengatakan sakitnya melahirkan anak ketiga atau keempat kerap terasa layaknya melahirkan anak pertama: deg-degannya, persiapannya, hingga dera pulihnya. Saya hanya mengiyakan. Tidak punya pengalaman untuk menimpali.


Luka Psikis

Lalu, bagaimana rasanya berpisah dengan orang terkasih berulang kali? Melepas kepergian orang tua, contohnya. Atau suami, atau istri, atau anak. Pada mereka yang sering berduel dengan jarak, kita mungkin berpikir, "Dia sih sudah terbiasa, sejak dulu kan sudah sering berjauhan! Tentu lebih mudah ketimbang mereka yang puluhan tahun terbiasa bersama."

Pada kenyataannya, setiap perpisahan memiliki momentum yang berbeda-beda. Keadaannya berbeda, kesiapannya berbeda, sakitnya pun berbeda. Tidak ada yang lantas menjadi kebal setelah berpisah berulang-ulang. Kita mudah terbiasa pada hal menyenangkan. Tapi, semudah itu pulakah habituasi pada yang tidak disenangi?

Qadarullah. Tak ada satu pun yang berjalan sendiri. Diizinkan untuk tenang bersama lebih lama sepatutnya menjadi tabungan untuk bersyukur lebih banyak pula. Ya, sepatutnya begitu. Ungkapan syukur Nabi Ayyub 'alaihissalam yang merangkulnya pada kesabaran harusnya menggaung di kepala:
Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullah)

Menghadapi luka pada fisik maupun psikis memang butuh persiapan. Walaupun kita tahu bersiap-siap tidak menjamin kita benar-benar siap.


Mati

Ini baru 'sekadar' luka. Belum mati. Apa kabar persiapan mati? Apakah menghadapi luka membuatmu betah berlama-lama dalam distraksi?


_________