Tombol remote TV yang kupegang masih terus tertekan. Hari
sudah berubah, tapi berita tak lekang berulah:
Kanal 1 : Kabar komedian yang sedang sakit parah dan berobat
di luar negeri
Kanal 2: Darurat predator anak; berita seorang lelaki muda
yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual pada sedikitnya 100 anak
Kanal 3 : Liputan seorang bakal calon presiden yang tengah
menggenjot pencitraan untuk meraup simpati
Kanal 4 : Dialog antar politikus dan wakil rakyat dengan
hentakan suara keras disertai bahasa tidak jelas
Kanal 5 : Film kartun
Kanal 6 : Gambar kerumunan orang tua hingga anak-anak yang
terlihat seperti kerasukan – rupanya sedang menari-nari diiringi musik dangdut
di sebuah reality show.
Kutekan tombol untuk
kembali ke kanal 5.
Inilah aku yang sedang menantimu pulang: berdamai dengan
televisi.
Gambar warna-warni di layar LCD masih terus beranimasi
dengan volume nyaris nol. Kupejamkan mata; membayangkan bagaimana jika
kujatuhkan saja televisi ini hingga pecah terburai – agar ia tak riuh lagi. Ya,
aku bisa beralasan tak sengaja menyenggolnya saat berusaha membersihkannya pagi
tadi. Atau, kubawa ke depan jalan sana lalu menawarkannya ke tukang loak yang
lewat. Aku bisa menjelaskan tadi sedang lupa mengunci pintu saat ke warung, dan
pulang-pulang televisi itu sudah raib.
(Aku bisa membayangkan ekspresimu mendengarnya.)
Tapi saat kubuka mata, kudapati diriku hanya terbaring lemas
di depan benda elektronik gaib ini. Tidak bisa kusentuh dirinya; berjayalah ia
pada tahtanya di atas rak dikelilingi para pemujanya: radiotape, DVD player, playstation. Kupandangi ia dengan picing –
samar-samar tersenyum ia padaku. Sial, ia membaca pikiranku.
Ya, ia tahu aku membutuhkannya. Meski sekadar jadi penabur
bising saat sedang senyap, atau jadi penyumbang cahaya yang tidak monokrom
seperti lampu. Sekadar jadi alarm bahwa sedang ada topik usang yang sedang
bergoyang sporadis di negeri ini. Atau sekadar jadi sosok lain menemani makan
malam kita yang tidak protes ketika diabaikan.
Suara ketukan di pintu – kamu pulang. Akhirnya! Kuhirup
nafas dalam-dalam, kutegakkan duduk, dan dengan mantap serta rasa puas kutekan
tombol merah di ujung kiri atas remote yang sedari tadi balas menggenggamku
erat. Power off. Matilah kau! Tak
berdayalah kau!
Kusegerakan membuka pintu agar bisa langsung memelukmu.
Tanpa iringan musik dangdut, tanpa pencitraan, tanpa retorika. Bebas aku bersamamu, manusia sungguhan tanpa
piksel. Hingga nanti, kamulah yang menyalakan ia lagi – saat sedang butuh
bising-bising kosong tanpa urgensi itu.