"Apa band favoritmu sepanjang masa?"
Jika pertanyaan itu dilontarkan pada saya, dengan mudah saya akan menjawab, "Coldplay." Saat sedang sendu, saya juga memilih mendengarkan lagu-lagu The Beatles atau Copeland. Tapi untuk dinyanyikan, saya cukup mahir membawakan hits milik Adele atau Norah Jones.
Sekilas hal ini tampak biasa. Tidak ada yang aneh atau berlebihan, kan?
Sampai tulisan ini 'menjumpai' saya pada suatu waktu;
"Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.”
HR. Bukhari, no. 5590
(http://muslim.or.id/20706-benarkah-musik-islami-itu-haram.html)
Baiklah, saya mengaku. Sayalah yang mencari tahu hukum tentang musik ini. Sebab bukan kali pertama saya mendengar bahwa dalam Islam, musik berhukum haram. Saya sesungguhnya sedang mencari pembenaran untuk tetap bisa mendengarkan atau menikmatinya.
Tapi yang saya temukan justru dalil yang memberatkannya. Tidak hanya hadist, saya pun tertegun menatap ayat ini;
"Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Lukman: 6)
Tidak ada kata musik? Baiklah. Tapi saya tahu bahwa terjemahan Al-Quran tak boleh ditafsirkan serampangan. Ada Imamnya. Salah satunya adalah Imam Ibnu Katsir rahimahullah. Dalam tafsirnya beliau menjelaskan bahwa dalam ayat 6 tersebut, Allah menceritakan tentang "orang-orang yang sengsara, lalu mereka ini berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an dan berbalik arah menuju nyanyian dan musik."
Saya lalu cemas. Benar-benar cemas.
Meski tidak selalu dilarang. Musik dibolehkan dalam Hari Raya dan pernikahan, dengan catatan: hanya dengan rebana, oleh perempuan, tidak mendayu-dayu atau membuat pendengarnya menari-nari (lengkapnya di https://rumaysho.com/372-saatnya-meninggalkan-musik.html ).
Dalam sebuah pesta, hati saya kembali disentak oleh pemandangan di atas pentas: penyanyi yang bersemangat, pemusik yang handal, lalu para tamu (yang kebanyakan tidak muda lagi) yang berdansa serempak di bawah.
Sang penyanyi dan pemusik sedang mencari nafkah, tentu. Tapi, apa mereka sudah tahu hukumnya? Para tamu ikut menari karena alasan sosial atau solidaritas, mungkin. Apa mereka tahu hukumnya? Jika mereka belum tahu, dan mengganggap bermusik itu boleh, apa mereka berdosa?
Saya pun menepuk kepala saya sendiri. Aduh! Untuk apa mempermasalahkan perbuatan orang lain? Saya sendiri bagaimana?
Siapapun yang mengenal saya tahu pasti, musik dan diri saya adalah dua hal yang sangat lekat. Penyiar radio dan bermain band pernah menjadi jejak di kehidupan saya dulu. Tidak sedikit lagu yang pernah saya cipta dengan bantuan keyboard Roland saya. Singkat kata, hampir setiap hari saya membiarkan kegiatan saya diiringi musik.
Tidak mudah, memang. Sama sekali tidak. Tapi, jika mengingat kembali bahwa hidup di dunia ini cuma sebentar, jika cuma sampai besok saja, maka sampai besok saja 'perjuangan' ini. Saya — seperti semua umat muslim — tak ingin menjadi golongan orang-orang yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai 'mereka yang memohon untuk kembali ke dunia, agar tidak melakukannya lagi'.
Sebenarnya tidak sesulit itu, jika sejak awal mengetahuinya. Kebiasaan-kebiasaan, budaya, dan kehidupan sosial yang tumbuh dengan pengaruh Barat membuat saya — dan mungkin, sebagian besar manusia — menjadi 'lupa' tentang mana yang buruk, mana yang baik. Ketika 'diingatkan' kembali, lantas bingung. Bagaimana cara meninggalkan kebiasaan? Bagaimana jika si itu mengolok saya? Menganggap saya kampungan? Mengira saya terlalu ekstrim? Lalu saya dijauhi? Ditinggalkan?
"Dijauhi keluarga, masih ada keluarga lain. Dijauhi teman, masih ada teman lain. Tapi, jika dijauhi Allah, apa ada Allah lain?" Itu kata suami saya, yang sukses membuat mata saya kabur berair.
Sang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agamamu.
Mari kita sepakat, wahai diri. Tidak ada yang sulit. Jika Allah memudahkan, maka mudahlah. Kita cukup mencoba dan meminta dimudahkan. Sesimpel itu. Mari mulai.
"Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” HR. Ahmad
(https://rumaysho.com/372-saatnya-meninggalkan-musik.html)
Dan sebaik-baik ganti adalah jaminan di surga. Aamiin.