Saya masih mengingat jelas sorot dua mata itu. Sedikit basah, dilengkapi senyum merekah. Saya menangkap limpahan kata dan rasa di dalamnya: bangga. Kebanggaan yang sering saya rasa berlebih untuk prestasiku yang sebenarnya receh.
Tak dipungkiri, memang, kakek dan nenek adalah orang-orang yang selalu menjadi 'fans' cucu-cucunya. Dukungan mereka punya warna berbeda dengan ibu bapak. Saya ingat bagaimana Etta, kakek saya, mengantar dan menjemput saya di sekolah. Atau bagaimana ia membuatkan ayunan untuk saya di halaman samping. Atau saat ia membuatkan kandang bagi kelinci peliharaan saya. Alhamdulillah, Biidznillah, menjadi cucu tertua memberikan saya lebih banyak waktu bersamanya, di masa sehatnya.
Terakhir, sebelum usia tuanya merenggut sebagian besar kesadarannya, ia sempat memberikan saya sebuah senter. Ia, seperti halnya orang-orang tua zaman dulu, juga menggemari senter. Entah mengapa, tapi kuduga karena dulu sempat merasakan sulitnya pencahayaan di malam hari. Dengan kagum ia menjelaskan,
"Senter ini bagus, Nak. Bisa diatur cahayanya mau besar atau kecil. Bisa di-charge juga, tidak usah ganti baterai. Siapa tahu kamu butuh kalau tiba-tiba mati lampu."
Saya baru sadar itu adalah pemberian yang sangat berarti. Bukan harganya, tapi simbol dan nilainya. Bahwa ia tidak ingin saya kesulitan, bahkan saat 'sekadar' mati lampu saja.
Etta. Kebaikannya diingat semua orang, dan saya hanya salah satunya. Menjadi cucunya adalah salah satu rezeki tak ternilai dari Rabb yang Maha Perahmat.
Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'afihi, wa'fu'anhu.