Bercangkir-cangkir espresso telah kita habiskan untuk menjamin salah satu dari kita tidak beranjak. Kau, juga aku, sama-sama punya kesibukan lain yang mengejar. Tapi apa ini? Kau dan aku terduduk tenang, kadang saling memandang, meneguk ratusan bujukan kafein yang menendang.
Segala ribut-ribut itu hanya di hati.
Di sini, hembusan nafas dan lantunan sayup suara Sarah Vaughan yang jadi juara. Selebihnya, dua orang yang memaku terus diam, takut jika sedikit kata saja bisa merusak segalanya. Kita kehilangan arah, kehilangan awal, hingga akhir pun tak terdeteksi.
Mungkin terbebani dengan paradigma bahwa laki-lakilah yang harus memulai duluan, kau berinisiatif memulai kata.
"Bagaimana harimu?"
"Entahlah. Belum berakhir." jawabku.
"Sejauh ini, maksudku." kau berusaha tersenyum.
"Cukup baik. Kamu?"
Mungkin menyadari aku hanya berbasa-basi, kau balik bertanya.
"Kenapa kamu tidak pernah menjawab teleponku?"
Aku diam.
"Email? SMS? Chat?"
Diam lagi. Kita tahu suasana telah rusak. Aku tahu sekarang tak lagi bisa lari. Kamu tahu, cara termudah memberbaiki ini adalah berhenti bertanya.
"Sudahlah. Tidak apa."
Terkadang, sulitnya menjawab menjadi jawaban yang sesungguhnya. Kita punya pilihan. Pilihanku adalah untuk membuatmu tetap sempurna di sini, di simulakrum ini, tanpa menyentuh nyata yang mungkin mengeliminasi kau yang sebenarnya. Nyata pun kadang palsu, kan?
Di sini, dalam waktu singkat makan siang, kita mencari sisa celah untuk kelak dibungkus rapi. Beberapa jam kemudian, kau akan duduk di pesawatmu dan aku di meja kerjaku. Kau akan terjebak macet dan aku akan pulang dalam sepi. Kau akan... entahlah. Menikmatimu di sini tidak akan kurusak dengan segala nanti-nanti.
Bagaimana pun, kau, adalah satu-satunya senyawa yang mengubah kafeinku menjadi detak jantung.
Sampai bertemu lagi, Mimpi.