kamu bodoh.
Selalu saja kamu tergila-gila pada perempuan yang salah. Ingat saja pacar pertamamu yang pergi setelah tahu kamu tidak kaya-kaya amat. Atau, gadis yang baru saja kamu dapati mengecup hangat sahabat kental yang kamu juluki soulmate itu.
Kamu pun tak punya selera.
Musik, film, buku, fashion -- tidak, tidak ada. Arus, adalah identitasmu yang terus berubah.
Tapi kamu baik. Sungguh.
Kamu punya sepasang tangan yang tulus memberi segala yang kemudian kamu lupakan. Dan matamu, yang turut berbinar saat memastikanku senang. Kamu adalah orang yang pertama kali siaga saat larut malam saya jatuh sakit.
Dan sejauh yang kuingat, kamu cukup sabar menunggu saya.
Saya, yang dalam waktu yang sama,
sedang menunggu dia.
Saya masih ingat caramu memandang ketika dia datang, dan merampas semua waktu yang tadinya luang untuk kamu ganggu. Juga, kamu yang tetap betah berjam-jam mendengarku memujinya. Semua yang saya kira cinta, mulai dan berakhir di depanmu.
Kamu, selalu ada ketika bahagiaku menemui ujung.
Sampai di suatu malam, saat kamu dan saya sedang terhempas bersama,
menertawai kesialan atas kisah cinta yang tak kunjung sukses, kamu menawarkan sebuah harga:
Persahabatan ini, dengan mengubah sejumlah sudut pandang tertentu, bisa menjadi cinta, katamu.
Saya sungguh-sungguh terkejut -- termasuk terkejut dengan reaksi saya sendiri yang turut percaya.
Malam itu kita habiskan dengan saling menggenggam, berkeliling kota, sangat mabuk, terus berpeluk. Tapi, separuh sadar kita tahu, pelukan sudah cukup.
Kita berhenti di situ, malam itu juga.
Waktu, jarak, kehidupan sosial, cinta, kebanggan material, membuatmu terus berkembang dan dengan naturalnya, menjauh. Pun, saya bagimu. Ketika bertemu terakhir kali, kemarin pagi, saat menunggu bus menuju kantor, kukira bermimpi mendengar suaramu.
Ternyata benar kamu, melihatku dengan tersenyum, menarik tangan seorang perempuan. Istriku, katamu. Tidak lagi ada ucapmu yang sungguh kusimak setelahnya.
Telah kuhabiskan berlembar kertas dan bergigabyte file untuk menyusun akhir yang tepat bagi sejarah tentangmu. Seluruh dunia tahu sedalam apa arti saya untukmu. Seluruh dunia, kecuali saya.
Mungkin kamu kecewa jika saya jujur:
saya tidak mencintaimu.
Atau, belum.
Karena semua perahu yang membawa rumus tentangmu, tak pernah sampai di tepi.
Semua buku yang berjudul namamu, tak punya bab akhir.
Kamu, adalah tulisanku yang tak pernah selesai.
Maka, ketika itu kamu me
menunggu kiamat menyelesaikan?
BalasHapusMungkin, jika ia bisa... ;)
BalasHapusmencoba mengalihkan cerita ini menjadi babak baru di buku yang lain, yang isinya hanya ada kamu tanpa saya. :s
BalasHapusMungkin akan jauh lebih sulit saat memasuki bab 'dia' :(
BalasHapus