"Maaf, saya terlambat." katanya.
"Tidak masalah," kataku, "saya juga baru tiba."
"Tapi kopimu tinggal sedikit."
"Eh, itu... tadi saya kehausan."
"Tambah lagi ya?"
"Tidak, tidak. Ini cukup, kok."
"Ada acara apa?"
"Bukan acara. Saya hanya ingin bicara."
"Baiklah, silakan."
"Saya tidak tahu harus mulai dari mana... begini saja. Singkatnya, saya ingin keluar dari sini."
"Sini?"
"Maksudku, ruang ini. Dunia ini. Kandang ini. Atau apapun namanya ini."
Dia tertawa. "Kenapa? Sudah mulai merasa sempit?"
"Sempit?" Saya balik bertanya. "Saya sesak!"
"Ssst, jangan berteriak."
"Maaf." kataku. Orang-orang memang mulai memandangi kami.
"Kalau sesak, oksigen yang kamu perlu. Bukan kabur."
"Di luar kan banyak udara."
"Di luar juga banyak penyakit."
"Tidak apa, saya sudah sakit."
"Saya tidak mau sakitmu kian parah."
Saya mulai terisak.
"Hidupmu masih panjang," katanya, "tugasmu masih banyak."
"Saya sudah gagal."
"Bagaimana bisa? Kamu bahkan belum sampai level medium."
"Itulah. Saya takut."
"Kamu macam tak berTuhan saja."
Saya terdiam.
"Ya ampun. Kamu putus asa?"
Saya kian bungkam.
"Serius?"
"Bukan begitu! Di depan saya... semua gelap!"
Dia menggenggam tanganku. Saya kembali terisak.
"Bukankah manusia butuh gelap, agar bisa tidur lelap?"
"Tapi..."
"Sayang, dukamu itu adalah obat. Kalau sakit, kamu butuh istirahat. Jeda. Tidur. Tidur!"
"Saya..."
"Kembalilah. Kembalilah ke tempat sujudmu. Tempat kamu biasa tidur nyenyak."
Saya terisak.
"Tugasmu belum selesai. Kuat kuatlah dulu. Istirahat. Tidur."
Saya masih terisak.
"Kamu tidak sakit. Tidak juga buta. Kamu hanya mengantuk.
"Sesimpel itu?"
"Ya. Serumit itu."
Dia lalu menarikku ke dalam peluknya. Saya menangis sejadinya hingga tertidur.
Saat bangun, saya memandang kursi kosong di depan saya dengan sedikit senyum. Saya memanggil pelayan.
"Berapa?"
"Satu kopi hitam, totalnya dua puluh ribu. Seperti biasa."
Saya mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu. "Simpan saja kembalinya."
"Terima kasih," jawabnya. "Maaf, kalau boleh saran, janganlah minum kopi jika sedang mengantuk. Mungkin Anda memang butuh tidur."
Saya tersenyum. "Iya, maaf sudah merepotkan."
"Tidak apa, kok. Kafe kami juga belum akan tutup. Maaf lagi, sesekali ajaklah teman. Jangan ngopi sendirian, biar tidak ketiduran. Biar kafe juga tambah ramai."
Saya tertawa. "Baiklah."
Pelayan itu merapikan meja di sudut yang sepertinya hanya punya satu peminat. Dia tahu pasti, besok besok saya akan tetap datang sendiri.