Disusunnya bata itu satu per satu, sambil mengeruk kenangan. Sesekali berhenti ia, menghela oksigen, membukakan celah bagi darahnya yang terhimpit otot. Jantungnya berdetak biasa saja, tanpa tekanan, tanpa emosi.
Dinding itu telah cukup tinggi, pikirnya. Ia kembali ke beranda, menyeruput kopi hitam yang tadinya panas. Awan berjalan lambat -- tapi diperhatikannya segala hal pun begitu. Semut-semut berbaris lambat, air di selokan mengalir lambat, pikirannya.. pikirannya berputar lebih lambat. Lambat ke belakang, kadang diam. Tak sekalipun dihiraunya masa depan.
Dinding itu telah menutup masa depannya.
"Bangun. Ayo bangun!"
Perempuan itu bergeming. Busa keluar dari pucat bibirnya.
"Tidak, tidak. Ayo bangun. Bangun!"
Ia melirik celana kainnya yang penuh darah. Disentuhnya cairan kental itu, yang mengalir dari rahim dan hati.
"Kumohon, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi, kumohon."
Tidak ada yang menjawab. Tidak pula bergerak. Tidak ada angin yang mengeringkan airmata. Semua celah tertutup dinding.
Ada masa ketika peta itu tergambar jelas: tertawa bersama, bangun tidur bersama, membangun rumah, membesarkan anak, bermain bersama, hidup bahagia, menabung, mati bersama. Apa yang terjadi di tengah jalan?
"Kau membenciku."
"Aku tidak benci. Aku marah."
"Marah kenapa?"
Ia sendiri lupa mengapa ia begitu marah. Ubun-ubunnya penuh emosi tatkala itu, tak cukup ruang untuk menyimpan memori.
"Kau mau sendiri. Tapi lalu ada aku."
Ia menggeleng. Ia tidak mau sendiri. Siapa yang mau?
Kepalanya masih berputar lambat. Dinding ini dirasanya cukup untuk menyelimuti sisa hidupnya yang kelu. Satu tubuh perempuan dan satu embrio terbaring di bawah luas halaman di depannya. Setidaknya kita masih bersama.
"Ya, kau benar. Aku tidak bisa sendiri. Meski pada akhirnya, kita semua mati sendiri."
Tidak ada kopi senikmat itu. Yang bisa kau nikmati dalam dinding kuburmu sendiri, tepat di atas kepalamu, bersama mereka yang kau cintai.