Siang ini, saya mencoba merakit kembali potongan teori dari media ini dan itu, menjadikannya sebuah kolase utuh, dan gagal. Jari saya sepertinya terlalu kuat menggenggam sekaligus terlalu lemah mengangkat; kepingan itu berserakan, menempel di tempat tak seharusnya, tak berbentuk pun bernilai.
_Dalam Al Qur'an, sinar matahari disebut dhiya'. Cahaya bulan disebut nur._
Sejenak, sy melihat diri saya sedang duduk di bangku SD, sedang mencatat pelajaran tentang perbedaan sinar dan cahaya. Saya terpaku. Kepingan yang berusaha saya susun adalah sabar. Yang teorinya begitu indah, konsepnya nyaris sempurna. Tapi sedetik menjalaninya, saya gugup.
_Rasulullah ﷺ menyebut sabar sebagai dhiya', shalat sebagai nur._
Sabar — seperti matahari — sinarnya adalah sumber, bukan pantulan. Sarat energi, penuh panas.
Meski sekilas, sabar tampak seperti air tanpa riak. Tenang, hening. Nyatanya, menahan diri kerap makan energi tidak kalah banyak ketimbang meluapkan emosi.
_Sabar itu ada tiga. Yang pertama, sabar dalam ketaatan. Kedua, sabar dalam menjauhi maksiat. Lalu, sabar dalam menghadapi takdir._
Mungkin pelajaran yang satu ini, adalah subjek seumur hidup. Dhiya' dan nur adalah kebutuhan seumur hidup.
_“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS. Al Baqarah: 45)_