Kamu lihat rumah kecil di kaki gunung sana?
Di sana, tinggal seorang lelaki tua bersama 13
kura-kuranya. Ramai, tapi sunyi. Sesenyap lelaki tua itu sendiri.
Di antara ketiga belas kura-kura, ada satu yang paling
tua ketimbang lainnya. Usianya hampir setengah abad. Heosemys spinosa, jenisnya. Berasal dari hutan hujan di Kalimantan,
yang tempurungnya bergerigi menyerupai gambar matahari yang dibuat anak-anak.
Mungkin karena itu ia dijuluki kura-kura matahari.
Tidak seperti kedua belas lainnya yang punya nama – Dum,
Flick, Mino, Bo, Ning, Koro, Nambo, Kong, Blu, Mori, Simba dan Poka – kura-kura
matahari ini tidak diberi nama. Si lelaki tetap memanggilnya ‘Matahari’, itu
saja. Tapi, dibanding lainnya, ia pula yang paling cerdas. Tidak pernah memakan
buah yang bukan jatahnya, mandi dan buang air pada tempatnya, dan datang jika
dipanggil. Pernah juga, Matahari dilepas ke luar rumah, ia berjalan pulang
kembali.
Suatu ketika, lelaki tua itu berinisiatif membuat sebuah
kandang luas di belakang rumahnya. Kura-kuranya akan semakin besar, pikirnya,
rumah kecilnya tak akan muat. Dengan tubuhnya yang kian renta, ia tidak boleh
menunda-nunda lagi. Maka dihabiskannya 24 hari untuk memaku, menyusun batu dan
bambu, menata tumbuh-tumbuhan rindang, hingga jadilah sebuah taman luas untuk
para kura-kura bermain.
Di suatu Sabtu yang sejuk, dilepaskannya mereka di sana.
Layaknya rindu alam bebas, semua kura-kura langsung berlari riang memakan
rerumputan. Semua, kecuali Matahari. Ia hanya diam di sudut, menatap lelaki
itu, lalu menyembunyikan badannya di balik pohon.
“Hei, kenapa?” tanya lelaki itu. “Tenang saja, kau akan
terbiasa di luar sini.”
Matahari bergeming, kepalanya ditarik ke dalam tempurung.
“Bukankah begini memang seharusnya tempatmu?” lanjut
lelaki itu, “Penuh tumbuhan dan udara bebas. Bukan di dalam rumah yang pengap.”
Matahari mendongak sejenak.
“Nah.” Kata lelaki itu sambil berdiri, “Sekarang
tugasmulah membantuku mengawasi yang lain. Jangan sampai mereka kabur. Karena
tidak sepertimu, mereka tidak tahu jalan pulang.”
Maka dengan puas beranjaklah lelaki itu meninggalkan
mereka, untuk beristirahat di ranjang bambu dalam kamar sempitnya.
Saat pagi datang, ia tercengang. Matahari hilang! Segera,
setiap sudut kandang diperiksanya. Pun, di balik pepohonan dan bebatuan. Nihil.
Tidak pula ada pecahan karapas atau bagian tubuh yang lain. Menegaskan padanya:
Matahari tidak diserang hewan liar, bukan. Tapi kabur.
Ia putuskan mencari lebih jauh. Berkeliling ia mulai dari
sekitar rumahnya, lalu ke area persawahan, dan akhirnya mencoba merintis jauh
ke dalam hutan. Dari pagi hingga pagi lagi, tak ada tanda hewan kecil itu.
Hingga badannya melemah dan menyadari pencariannya sia-sia.
Perlahan runtuhan kecewa mengaliri darahnya. Kura-kura yang
bersamanya puluhan tahun, dirawatnya selayak anak sendiri, dilatihnya hingga
cerdas, hilang dalam semalam. Yang lebih menyakitkannya adalah fakta bahwa
Matahari pergi dengan keinginan sendiri – dengan akal yang tidak dimiliki
kura-kura lain. Dadanya terasa dihantam: inilah rasanya terkhianati. Lagi.
Imajinya terbang ke puluhan tahun lalu, saat hidup masih
ramai. Seperti baru kemarin saja, ia mendapati sang kekasih berkhianat. Tidak
itu saja, pelan-pelan hidup seperti mengulum hatinya yang tersisa. Satu per
satu mereka pergi: teman, tetangga, hingga keluarga. Ada yang salah dengan
hidupnya, pikirnya. Segala yang mampu berbicara tampaknya hanya bisa mencerca,
memprotes. Jengah ia pada pertengkaran yang riuh, atau kebohongan yang
menampar. Itulah awal ia menghindari manusia dan memilih menasbihkan hidup pada
teman-teman melatanya, kura-kura. Hewan yang sunyi, tak banyak menuntut, dan
berumur panjang – jadi bisa menemaninya hingga mati.
Tapi ternyata, Tuhan selalu punya cara untuk
mengingatkannya tentang sakit. Tak peduli lewat manusia atau hewan.
***
Puluhan tahun berlalu, lelaki tua itu masih menghabiskan
senja bersama kedua belas kura-kura yang tersisa. Bedanya, ia tak lagi marah
atau kecewa. Hanya berharap ia, agar semua yang meninggalkannya lebih bahagia
tanpanya. Kekasih, teman, keluarga… terutama Matahari. Semoga ia cukup makan
dan tak jadi santapan anjing liar.
Hari ini ulang tahunnya ke-80. Dua belas kura-kura
dikumpulkannya di ruang tamu, berhimpit dalam sempit. Ia mengucap doa, bukan
meminta, tapi bersyukur. Telah diberikan ia damai meski sendiri, tenang meski
tak terang, bahagia meski tak kaya. Saat hendak dikembalikannya para kura-kura
ke taman belakang, matanya tertumpu pada satu sosok di atas rerumputan.
Ukurannya lebih besar dua kali lipat dibanding terakhir kali dilihatnya. Dari
matanya yang hitam bulat, bisa ia lihat rindu:
Matahari.
“Masuklah,” ujarnya sambil menghela napas, “kau boleh
tinggal di dalam rumah.”