Sabtu, 28 Desember 2013

Ide*

Aku punya ide
untuk menua bersamamu
dalam kebosanan yang panjang
hingga tanah melahapmu yang sedang minum kopi
dan aku yang membaca buku,
karena dunia terlalu bosan melihat kita.

(*karena bosan lebih licik menguji - ketimbang masalah)



Kamis, 28 November 2013

Move On












Di sana, jauh di sudut laci mejamu
terlipat juga secarik kenangan
sedang ratusan fabel telah kau tulis untuk melupa

                        
                         Bakar, bakar

                         Apa lagi yang kau tunggu?


Ah, sering kau lupa
tubuhmu sudah penuh luka.

Minggu, 10 November 2013

Bahagia Itu Tidak Sederhana

Ya,
seperti pagi ini
saat bercanda denganmu yang tengah
memberi makan kura-kura di halaman belakang kita
yang penuh kupu-kupu
dan alunan yang menggema
Serta detak jantung kecil dari dalam yang
berkata, "Bapak, Ibu, tunggu aku ya."
Tidak ada kata sederhana yang bisa mewakilinya. Pun kisah sederhana untuk memeluknya.

Alhamdulillah :')


Sabtu, 07 September 2013

Laron

Ketika maghrib menjelang, mereka menutup semua pintu, mematikan semua cahaya, mendinginkan semua panas, lalu berdiam diri.

Perlahan tapi pasti, makhluk-makhluk kecil bersayap itu mendatangi satu-satunya lentera yang mereka biarkan menyala di halaman belakang. Sinar itu tak benderang, tapi menjadi sonar pemikat hampir ribuan laron-laron yang diam-diam membuat dinasti di sekitar pondok mereka di lembah.

Dalam gelap, mereka mencinta.

Dalam gelap, mereka marah.

Dalam gelap, mereka takut sendiri.

Maka kulit-kulit mereka harus selalu bersentuhan untuk memastikan satu sama lain masih tetap di sana, meski marah, meski malas, apalagi mencinta -- demi sebuah rasa aman bahwa mereka masing-masing... tidak sendiri.

Ketika adzan isya berkumandang, laron-laron itu mulai goyah. Satu per satu sayap mereka patah. Jatuhlah mereka ke tanah. Saatnya hidup kembali bersuara. Malam kembali terang. Terus begitu, dalam lingkaran rutinitas waktu.

Suatu hari, laron-laron itu tidak datang. Yang satu berpikir, mungkin para laron sedang bermutasi, atau masih dalam masa inkubasi. Entahlah, yang lain bahkan tidak mau tahu kenapa. Yang penting mereka tidak lagi terusik kedatangan pengganggu kecil yang beterbangan di mana-mana, itu sudah cukup.

Tapi ada yang aneh. Ganjil. Semua lampion memang bisa menyala bebas tanpa serangan liar. Maka tak lagi ada gelap yang memaksa mereka lekat. Maka sibuklah mereka dengan ruang sendiri-sendiri, tidak dilanda takut gelap, tidak butuh teman. Tapi juga tidak ada alasan untuk saling bersandar, atau sekedar merasakan detak jantung satu sama lain untuk mensyukuri hidup. Tidak ada alasan untuk memeluk -- kalah oleh segan.

Mendadak mereka rindu laron-laron itu. Diam-diam mereka berharap diganggu.
Dalam doa yang senyap, mereka pun meminta alam memanggil laron kembali.

Senja ini, ribuan kepakan bising itu kembali. Mereka terkejut melihat serangga-serangga itu, tapi tidak ada yang mengalahkan terkejutnya mereka melihat wajah satu sama lain -- yang sama bergejolak bahagia!
Mereka lalu sadar: ternyata mereka saling rindu.

Dalam marah, dalam bosan, dalam senang, mereka selalu merindu.

Malam itu laron-laron berpesta bersama sepasang manusia itu. Energi berpendar dari dalam pondok; energi yang jauh lebih hangat ketimbang api lentera satu-satunya di halaman belakang.

Menunggu













Kau menunggu aku bicara,
aku menunggu waktu selesai berdenting
bersama kita merangkum alam
menjadi simulakrum jeda terpanjang
dalam riuh ramai tanda baca di udara


Tang ting tang ting tang ting tang ting
Tok tok tok tok tok tok
Dum dum dum dum dum
Duk duk duk duk duk


Kau masih menunggu aku bicara
aku menunggu kau mencinta.

Kamis, 05 September 2013

Untuk Kekasih Kecilku

Tidak ada yang lebih menghancurkan jiwaku selain melihatmu pergi
karena aku telah mencintamu jauh sebelum kau ada
dan setiap hidup yang kusaksikan adalah akar-akar rindu

Kau, adalah mimpi

dan telah kutasbihkan benci pada nyata
sejak ia menarikmu berpisah dari napasku

Jika, jika,

Tuhan berkenan memberi sekecil apapun jembatan bagi kita bertemu
akan kulebarkan ia dengan himpunan tulang hingga kulitku, airmata hingga hidupku
untuk menjemputmu, Sayang.



:'

Rabu, 17 Juli 2013

New Home

Life goes on in the new home
With the 10 years old couple mug


Time runs, ten years long distance love, marriage, and then, first ramadhan with husband.
 
 





We know God always gives us what we need. But we don't know why it's never enough, why we keep on asking more... :')

The two little turtles

Selasa, 16 Juli 2013

Pelukan

Sebuah pelukan menanti di sebelah sana
meminta untuk diminta
sementara aku enggan meminta-minta

Padahal udara dingin berpusat di hati
bekulah kulit dan aliran nadi
Saat ini pelukan sangat dibutuhkan!
Entahkah itu pelukan ibu, kekasih, atau sekadar pelukan terima kasih dari pedagang tua di pasar.

Karena jiwa tak harus jatuh dulu untuk dipeluk
Karena pelukan tulus itu tak diminta;
ia selalu punya waktu untuk mampir sendiri.

Jumat, 12 Juli 2013

A Tough Woman Called Mom

She cried. Then smile to me.
Cried again, silently.

I hold her, laughed
"That's ok, Mom.
I'm just moving to live with husband,
I'll visit you occasionally."

She hold me back,
then laughed with me.

She texts me almost everyday,
said she missed me,
longed for seeing me sleeping beside her,
or just made her angry.

I just reply her with smile emoticons,
never said that I missed her too,
but
truly, deep inside me,
I really really miss her.
Everyday since I moved,
there's no single time I don't remember her.

And I miss being a small girl
in the big mommy's warm embrace.
Always.

I  M I S S   Y O U   M O M .


(At new home,
when the past young girl inside comes out.)

Minggu, 30 Juni 2013

Pagi

Membuka mata pagi ini,
membuka sendu sisa malam tadi
membuka langkah menyepi.
Adakah kamu nanti?
Karena benci tak lagi terdefinisi kata
seperti absurdnya airmata karena cinta.



(Di rumah.
Karena mencinta memang selalu sepi
kalau ramai namanya konser.)

Jumat, 28 Juni 2013

Why We Cry: The Science of Sobbing and Emotional Tearing by Maria Popova


Source: http://www.brainpickings.org


Why it’s easier to prevent a crying spell than to stop one already underway?
  
The human body is an extraordinary machine, and our behavior an incessant source of fascination. In Curious Behavior: Yawning, Laughing, Hiccupping, and Beyond (public library), psychology and neuroscience professor Robert R. Provine undertakes an “analysis and celebration of undervalued, informative, and sometimes disreputable human behavior” by applying the lens of anthropologically-inspired, observational “Small Science” — “small because it does not require fancy equipment and a big budget, not because it’s trivial” — to a wealth of clinical research into the biology, physiology, and neuropsychology of our bodily behaviors.

Take, for instance, the science of what we call “crying,” a uniquely human capacity — a grab-bag term that consists of “vocal crying,” or sobbing, and “emotional tearing,” our quiet waterworks. Provine explains:



“As an adult, you cry much less than when young, and your crying is more often subdued, teary weeping than the demonstrative, vocal sobbing of childhood. . . [T]he trauma that causes your crying is now more often emotional than physical. However, whether intentional or not, as adult or child, you cry to solicit assistance, whether physical aid or emotional solace. Paradoxically, your adult cry for help is more private than the noisy, promiscuous pronouncement of childhood, often occurring at home, where it finds a select audience. The developmental shift from vocal crying to visual tearing favors the face-to-face encounters of an intimate setting. The maturation of inhibitory control gives adults the ability to select where and when crying occurs, or to inhibit it altogether, options less available to children.”



To better illustrate the physiology of crying, Provine contrasts it with that of laughing, pointing out that the two are complementary behaviors and understanding one helps understand the other.


“Specialists may argue whether there is a typical cry or laugh, but enough is known about these vocalizations to provide vivid contrasts. A cry is a sustained, voiced utterance, usually of around one second or more (reports vary), the duration of an outward breath. Think of a baby’s ‘waaa.’ . . . Cries repeat at intervals of about one second, roughly the duration of one respiratory cycle . . . A laugh, in contrast, is a chopped (not sustained), usually voiced exhalation, as in ‘ha-ha-ha,’ in which each syllable (‘ha’) lasts about 1/15 second and repeats every 1/5 second.”



One curious feature crying and laughing have in common, which any human being with a beating heart can attest to:


“Crying and laughing both show strong perseveration, the tendency to maintain a behavior once it has started. These acts don’t have an on-off switch, a trait responsible for some quirks of human behavior. Whether baby or adult, it’s easier to prevent a bout of crying than to stop it once under way. Crying causes more crying. Likewise, laughter causes more laughter, a reason why headliners at comedy clubs want other performers to warm up the audience, and why you may be immobilized by a laughing fit that can’t be quelled by heroic attempts at self-control. In fact, voluntary control has little to do with starting or stopping most crying or laughing.”


So, if vocal crying evolved to attract help, what’s the evolutionary purpose of quiet tears? For one, they contain lysozyme, the body’s own antiseptic, which sanitizes and lubricates the eye. But, Provine argues, there might be something much more interesting and neurobiologically profound at work:

“Several lines of evidence suggest that the NGF [nerve growth factor] in tears has medicinal functions. The NGF concentration in tears, cornea, and lacrimal glands increases after corneal wounding, suggesting that NGF plays a part in healing. More directly, the topical application of NGF promotes the healing of corneal ulcers and may increase tear production in dry eye . . . Although more of a scientific long shot, I suggest that tears bearing NGF have an anti-depressive effect that may modulate as well as signal mood.
Non-emotional, healing tears may have originally signaled trauma to the eyes, eliciting caregiving by tribe members or inhibiting physical aggression by adversaries. This primal signal may have later evolved through ritualization to become a sign of emotional as well as physical distress. In this evolutionary scenario, the visual and possibly chemical signals of emotional tears may be secondary consequences of lacrimal secretions that originally evolved in the service of ocular maintenance and healing.”
If anything, Provine points to this as a direction of curiosity for future research:


“Emotional tearing is a uniquely human and relatively modern evolutionary innovation that may have left fresh biological tracks of its genesis. The contrast of the human lacrimal system with that of our tearless primate relatives may reveal a path to emotional tearfulness that involves NGF. NGF may be both a healing agent found in tears and a neurotrophin that plays a central role in shaping the neurologic circuitry essential for emotional tearing during development and evolution. A lesson of NGF research is that pursuit of the scientific trail can lead to serendipitous discoveries both broad and deep. Emotional tears may provide an exciting new chapter in the NGF saga, and vice versa.”





(Oh well, I see, then.)

Sabtu, 08 Juni 2013

Bangun!

Bangunkan dia dengan alarm, denting jam, kokok ayam, terik matahari, riuh klakson, suara tv
Atau,
bangunkan dia dengan mimpi buruk, tangisan, udara dingin menusuk, ruang kosong di samping, detak kaki, teriakan berwarna kecewa
Atau, biarkan dia tidur dengan selimut cinta yang terus hangat, percaya diri melambung, atheisme hati, kursi raja halusinasi, label superhero
Hingga dia bangun sendiri,
menghirup nafas dari nafasmu yang habis malam tadi
tak lagi bisa tidur
denganmu yang tak lagi bisa bangun...
Bangun...
Bangun!

Kamis, 02 Mei 2013

Cinta Itu... Mahal?

"Cinta itu mahal, Sayang."
katamu, saat hendak menolak bicara tentangnya
Di sakumu, tersimpan recehan-recehan mimpi yang belum terwujud
yang lalu kau cukupkan dengan hadirku
yang bisa memeluk sewaktu-waktu saat kau miskin

"Cinta itu mahal, Sayang."
katamu, saat menghindari pikiran tentangnya
Daftar waktumu mungkin telah dipenuhi agenda minum kopi dan nonton bola
untuk sisanya kau takar bersamaku
di atas patron takdir yang berakar sejarah

"Cinta itu mahal, Sayang."
katamu, saat mengelak merasakannya.
Kau himpun tabungan untuk membeli yang tak terbeli,
demi senang, demi tenang, dan segala yang bisa terkenang,
lalu kau sadar dengan mahalnya,
tak kau temukan mata uang yang bisa melunasi


Ya,
sejak dulu aku tahu cinta itu mahal!
Tapi tak ku pedulikan itu
tetap ku serahkan ia sepenuh-penuhnya
untuk juragan tanpa mesin hitung:
kau.


(Di kantor, saat menunggu demonstrasi bungkam dan macet pergi, untuk segera pulang.)

Rabu, 24 April 2013

Di Rumahmu

Di rumahmu, waktu berjalan dengan sangat aneh
ayam berkokok pukul empat pagi
dan matahari terbit di pukul lima
sementara, aku selalu merasa risih jika di saat itu kita sedang tak berpeluk

Kau marah, karena tak kunjung ku mengerti waktu
ah, kuabai saja peka yang menggonggong
dan memilih memelukmu di sudut mimpi
tempat ribuan denting waktu di rumahmu hilang wewenang
lebur,
menjadi sepohon bonzai cantik di atas makam kelinciku.

Selasa, 26 Maret 2013

Well,

so I am getting married, so soon.

It's the biggest thing I've waited a whole life.
I guess, when it comes, all the butterflies in my tummy would be turning into lions
or bigger
but then in this situation, with all preparations, complexities, and hassles
there are no space to say hello to the lions or even small butterflies

Whatever it feels,
for whoever read this,
wish your blessings for us:
the new-comers of the unknown.