Sabtu, 07 September 2013

Laron

Ketika maghrib menjelang, mereka menutup semua pintu, mematikan semua cahaya, mendinginkan semua panas, lalu berdiam diri.

Perlahan tapi pasti, makhluk-makhluk kecil bersayap itu mendatangi satu-satunya lentera yang mereka biarkan menyala di halaman belakang. Sinar itu tak benderang, tapi menjadi sonar pemikat hampir ribuan laron-laron yang diam-diam membuat dinasti di sekitar pondok mereka di lembah.

Dalam gelap, mereka mencinta.

Dalam gelap, mereka marah.

Dalam gelap, mereka takut sendiri.

Maka kulit-kulit mereka harus selalu bersentuhan untuk memastikan satu sama lain masih tetap di sana, meski marah, meski malas, apalagi mencinta -- demi sebuah rasa aman bahwa mereka masing-masing... tidak sendiri.

Ketika adzan isya berkumandang, laron-laron itu mulai goyah. Satu per satu sayap mereka patah. Jatuhlah mereka ke tanah. Saatnya hidup kembali bersuara. Malam kembali terang. Terus begitu, dalam lingkaran rutinitas waktu.

Suatu hari, laron-laron itu tidak datang. Yang satu berpikir, mungkin para laron sedang bermutasi, atau masih dalam masa inkubasi. Entahlah, yang lain bahkan tidak mau tahu kenapa. Yang penting mereka tidak lagi terusik kedatangan pengganggu kecil yang beterbangan di mana-mana, itu sudah cukup.

Tapi ada yang aneh. Ganjil. Semua lampion memang bisa menyala bebas tanpa serangan liar. Maka tak lagi ada gelap yang memaksa mereka lekat. Maka sibuklah mereka dengan ruang sendiri-sendiri, tidak dilanda takut gelap, tidak butuh teman. Tapi juga tidak ada alasan untuk saling bersandar, atau sekedar merasakan detak jantung satu sama lain untuk mensyukuri hidup. Tidak ada alasan untuk memeluk -- kalah oleh segan.

Mendadak mereka rindu laron-laron itu. Diam-diam mereka berharap diganggu.
Dalam doa yang senyap, mereka pun meminta alam memanggil laron kembali.

Senja ini, ribuan kepakan bising itu kembali. Mereka terkejut melihat serangga-serangga itu, tapi tidak ada yang mengalahkan terkejutnya mereka melihat wajah satu sama lain -- yang sama bergejolak bahagia!
Mereka lalu sadar: ternyata mereka saling rindu.

Dalam marah, dalam bosan, dalam senang, mereka selalu merindu.

Malam itu laron-laron berpesta bersama sepasang manusia itu. Energi berpendar dari dalam pondok; energi yang jauh lebih hangat ketimbang api lentera satu-satunya di halaman belakang.

Menunggu













Kau menunggu aku bicara,
aku menunggu waktu selesai berdenting
bersama kita merangkum alam
menjadi simulakrum jeda terpanjang
dalam riuh ramai tanda baca di udara


Tang ting tang ting tang ting tang ting
Tok tok tok tok tok tok
Dum dum dum dum dum
Duk duk duk duk duk


Kau masih menunggu aku bicara
aku menunggu kau mencinta.

Kamis, 05 September 2013

Untuk Kekasih Kecilku

Tidak ada yang lebih menghancurkan jiwaku selain melihatmu pergi
karena aku telah mencintamu jauh sebelum kau ada
dan setiap hidup yang kusaksikan adalah akar-akar rindu

Kau, adalah mimpi

dan telah kutasbihkan benci pada nyata
sejak ia menarikmu berpisah dari napasku

Jika, jika,

Tuhan berkenan memberi sekecil apapun jembatan bagi kita bertemu
akan kulebarkan ia dengan himpunan tulang hingga kulitku, airmata hingga hidupku
untuk menjemputmu, Sayang.



:'