Senin, 26 Oktober 2015

Bidak

Aku mematung di dimensi ini, merenungmu dari jauh
Cerita yang tak bermula, pun tak kunjung selesai
Sekat tak nampak tapi nyata membentang sepanjang radiusmu
malaikat menyekap inderaku baik-baik

Tak ada gelombang rasa yang terlalu ringkih bagi perindu layaknya kita
Tak ada memori yang terlalu enteng untuk perekam seperti kita

Kita adalah bidak-bidak yang punya aturan jelas:
harus saling membunuh untuk bersama.

Jumat, 09 Oktober 2015

A Long Dream about Life*

Sometimes I lost my consciousness about what the time of this life is for. I used to live it for myself, then to start living for other — without attaching any selfinterest — is quite confusing.

If you — whoever you are — read this, please answer these questions in your mind:
1. Whose wish is your priority now?
     - Your parents?
     - Your spouse?
     - Your children?
     - Anyone else?
2. What if their wish is incompatible with yours?
3. Can you determine what exactly is your purpose?
    - Career?
    - Family?
    - Love?
    - Wealth?
    - Popularity?
    - Peace?
    - Anything else?

4. What brings you more self-satisfaction: to see yourself happy? Or to fill up anyone else's hopes on you?

If you can answer all those question easily with no doubt, you are terribly lucky.

Sadly, none of those above I can answer. Truth is, I always want to make them — everyone who has faith on me — happy. At least, not to make their expectations down. Because making people happy is a kind of worship too.

Some people said, if you don't really know what do you really want, then have more conversations with yourself. Other said, if you don't really know what to do, then do what God likes. Maybe I'm not so good in practicing both of them.

My dreams are so big, far away from the place I stand now. The reason why I'm still here is, I wanna make everyone happy, never want to disappoint them. But in the end, nothing works. I can't fulfill everyone's wish. People's happy because of themselves, not because of me. That's why.

Sometimes I feel so jealous to those who has freedom. Live by themselves, do anything they want, not so worry about what people think or say. They do what they choose to do, not because they're pressurised to do. They can show who they really are, have fun with no worries. Sounds good, rite?

Then this is happened: I dreamt. I my dream, I was in a school that taught about life. Students were asked to do tasks, and whoever fail will die. I didn't take it seriously until one of my friend died. I was afraid, thinking about things in life I haven't done, my families, and my sins. Then a very loud voice sounded clearly, "It's all about sincerity. It's not the result that matters, nor also what people say and what you get in return. It's about doing your tasks in your best with sincerity." Then I did that task and didn't really care about failing and to die. Surprisingly, 'the school' accepted my tasks and I was still alive.

I won't forget that dream. It's a big reminder that, whatever God gives to me now, it's 'my tasks' to be done. I have to do it with sincerity, honestly for God. And that means it for me too, because no one can help me and my family in the hereafter but God. When God asks me to be a wife and a mom, I don't have to be a perfect wife and mom. I just have to do all my best. I can't compare myself to other because we didn't get the same tasks, rite? Nor even the difficulty level. I just have to be patient and strong. And honest.

Because my foolish mind sometimes wish for something unreal, whereas I already have something real here. I have everything I dreamt when I was younger and more honest. That's why we have to be careful of what we wish.

Now, before I sleep, I just wanna take a deep breath of thankful air to God, for giving me such a good life and keeping me in the path. And to remind me in the future to do just what life gives with sincerity. You don't need anyone to tell that you're great, because there's only one who sees the real you and keep watching inside out: God.

Subhanallahi wa bi hamdihi.

*Life is just a dream, anyway.

Kamis, 01 Oktober 2015

P3K

Jika kamu terluka, tak apa. Menangislah. Kamu lihat anak-anak kecil itu? Mereka terjatuh, menangis lantang, lalu besok mereka lupa dan bermain lagi. Menjadi dewasa bukan pantangan untuk menangis, tapi mengontrol cara kita menangis. 
Jika kamu terluka, nikmatilah. Lupakan? Jangan, tak perlu. Seperti halnya luka di tubuhmu, jika kamu abai, bisa terkena kuman dan infeksi. Lindungi sayatannya, tutupi dengan senyum terbaik yang kamu punya. Ia akan pulih sendiri, sel-sel tubuh kita akan beregenerasi, darah akan mengering. Sembuh. Begitu juga dengan hati. Asal, kamu waspada untuk tidak dengan sengaja membuka lukanya lagi. 
Jika kamu tahu atau punya obatnya, obatilah. Tapi segenap pelakon medis maupun spiritual selalu tahu, obat yang paling ampuh bukan dari luar. Ia berada di dalammu, mengontrol setiap detak, saraf, aliran darah, indera, dan rasa: pikiranmu sendiri.

Rabu, 19 Agustus 2015

Dinding di Atas Kepala

Disusunnya bata itu satu per satu, sambil mengeruk kenangan. Sesekali berhenti ia, menghela oksigen, membukakan celah bagi darahnya yang terhimpit otot. Jantungnya berdetak biasa saja, tanpa tekanan, tanpa emosi.

Dinding itu telah cukup tinggi, pikirnya. Ia kembali ke beranda, menyeruput kopi hitam yang tadinya panas. Awan berjalan lambat -- tapi diperhatikannya segala hal pun begitu. Semut-semut berbaris lambat, air di selokan mengalir lambat, pikirannya.. pikirannya berputar lebih lambat. Lambat ke belakang, kadang diam. Tak sekalipun dihiraunya masa depan.

Dinding itu telah menutup masa depannya.

"Bangun. Ayo bangun!"
Perempuan itu bergeming. Busa keluar dari pucat bibirnya.
"Tidak, tidak. Ayo bangun. Bangun!"
Ia melirik celana kainnya yang penuh darah. Disentuhnya cairan kental itu, yang mengalir dari rahim dan hati.
"Kumohon, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi, kumohon."
Tidak ada yang menjawab. Tidak pula bergerak. Tidak ada angin yang mengeringkan airmata. Semua celah tertutup dinding.

Ada masa ketika peta itu tergambar jelas: tertawa bersama, bangun tidur bersama, membangun rumah, membesarkan anak, bermain bersama, hidup bahagia, menabung, mati bersama. Apa yang terjadi di tengah jalan?

"Kau membenciku."
"Aku tidak benci. Aku marah."
"Marah kenapa?"

Ia sendiri lupa mengapa ia begitu marah. Ubun-ubunnya penuh emosi tatkala itu, tak cukup ruang untuk menyimpan memori.

"Kau mau sendiri. Tapi lalu ada aku."

Ia menggeleng. Ia tidak mau sendiri. Siapa yang mau?

Kepalanya masih berputar lambat. Dinding ini dirasanya cukup untuk menyelimuti sisa hidupnya yang kelu. Satu tubuh perempuan dan satu embrio terbaring di bawah luas halaman di depannya. Setidaknya kita masih bersama.

"Ya, kau benar. Aku tidak bisa sendiri. Meski pada akhirnya, kita semua mati sendiri."

Tidak ada kopi senikmat itu. Yang bisa kau nikmati dalam dinding kuburmu sendiri, tepat di atas kepalamu, bersama mereka yang kau cintai.

Kamis, 06 Agustus 2015

Repetisi

Apa yang kau harapkan dari sebuah buku cetakan baru?

Desain sampul baru,
penerbit berbeda,
kertas jenis lain,
atau revisi

Tapi tak bisa kau harapkan cerita berbeda
Paragraf, bab, dan konflik akan sama saja
Bahkan jika penerjemah berbeda tafsir di sejumlah bagian,
pada ujungnya
tak bisa kau bahagiakan akhir yang sedih
atau meramaikan tamat yang sepi
atau menghidupkan tokoh yang mati.

Sabtu, 11 Juli 2015

Abstain

Di sana, di sudut malam
kulihat dia memandang dengan dosa dosa di matanya
persis pesakitan
merindu candu

Dia tahu, aku bukan pilihan untuk dicinta
Tapi dia tidak tahu,
sesibuk apapun mencari petunjuk,
bagaimana cara membatalkan cinta
yang tak pernah dipilihnya.

Seperti Pesta

Tadinya kukira ini pesta
sampai aku berakhir di toilet
menangis sendiri
muntah muntah kenangan yang kuteguk mentah mentah
lalu pulang dengan label pecundang

Aku memang mabuk, sayang.
Tapi cukup sadar untuk melihatmu hilang
sambil terus menyayang.

Selasa, 09 Juni 2015

Berhenti

Ada masa kau berhenti mencintaiku.
Di kala itu, langit menderukan hujan dan bulan berkeping pelan
Seluruh inderaku mati,
terbujur bersemut di samping peti

Di kala itu, tiang pancang siap melumat leherku tanpa penutup mata
Mungkin penutup matanya ada padamu?

Di kala itu, ruhku terenggut dari masa depanmu.

Ada masa kau berhenti mencintaiku.
Di sanalah aku membunuh puisi ini
dengan sebilah janji.

Selasa, 14 April 2015

Kalender*

Tanggal-tanggal dalam kalender selalu terlihat seperti langkah-langkah kecil bagiku
Tak ada yang bisa mencegahnya untuk belajar berjalan


Tapi berhati-hatilah!

Jangan pergi ke batas di mana kau tak bisa kembali
dan berhentilah ketika kau mendengar teriakan, "Tunggu!"
atau berbaliklah saat kau menemukan nada itu:
not terakhir di ujung tangga --- sebuah tanda untuk pulang.

*untuk Kesayangan-kesayanganku

Sabtu, 07 Februari 2015

Ceritanya Panjang

"Maaf, saya terlambat." katanya.

"Tidak masalah," kataku, "saya juga baru tiba."

"Tapi kopimu tinggal sedikit."

"Eh, itu... tadi saya kehausan."

"Tambah lagi ya?"

"Tidak, tidak. Ini cukup, kok."

"Ada acara apa?"

"Bukan acara. Saya hanya ingin bicara."

"Baiklah, silakan."

"Saya tidak tahu harus mulai dari mana... begini saja. Singkatnya, saya ingin keluar dari sini."

"Sini?"

"Maksudku, ruang ini. Dunia ini. Kandang ini. Atau apapun namanya ini."

Dia tertawa. "Kenapa? Sudah mulai merasa sempit?"

"Sempit?" Saya balik bertanya. "Saya sesak!"

"Ssst, jangan berteriak."

"Maaf." kataku. Orang-orang memang mulai memandangi kami.

"Kalau sesak, oksigen yang kamu perlu. Bukan kabur."

"Di luar kan banyak udara."

"Di luar juga banyak penyakit."

"Tidak apa, saya sudah sakit."

"Saya tidak mau sakitmu kian parah."

Saya mulai terisak.

"Hidupmu masih panjang," katanya, "tugasmu masih banyak."

"Saya sudah gagal."

"Bagaimana bisa? Kamu bahkan belum sampai level medium."

"Itulah. Saya takut."

"Kamu macam tak berTuhan saja."

Saya terdiam.

"Ya ampun. Kamu putus asa?"

Saya kian bungkam.

"Serius?"

"Bukan begitu! Di depan saya... semua gelap!"

Dia menggenggam tanganku. Saya kembali terisak.

"Bukankah manusia butuh gelap, agar bisa tidur lelap?"

"Tapi..."

"Sayang, dukamu itu adalah obat. Kalau sakit, kamu butuh istirahat. Jeda. Tidur. Tidur!"

"Saya..."

"Kembalilah. Kembalilah ke tempat sujudmu. Tempat kamu biasa tidur nyenyak."

Saya terisak.

"Tugasmu belum selesai. Kuat kuatlah dulu. Istirahat. Tidur."

Saya masih terisak.

"Kamu tidak sakit. Tidak juga buta. Kamu hanya mengantuk.

"Sesimpel itu?"

"Ya. Serumit itu."

Dia lalu menarikku ke dalam peluknya. Saya menangis sejadinya hingga tertidur.
Saat bangun, saya memandang kursi kosong di depan saya dengan sedikit senyum. Saya memanggil pelayan.

"Berapa?"

"Satu kopi hitam, totalnya dua puluh ribu. Seperti biasa."

Saya mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu. "Simpan  saja kembalinya."

"Terima kasih," jawabnya. "Maaf, kalau boleh saran, janganlah minum kopi jika sedang mengantuk. Mungkin Anda memang butuh tidur."

Saya tersenyum. "Iya, maaf sudah merepotkan."

"Tidak apa, kok. Kafe kami juga belum akan tutup. Maaf lagi, sesekali ajaklah teman. Jangan ngopi sendirian, biar tidak ketiduran. Biar kafe juga tambah ramai."

Saya tertawa. "Baiklah."

Pelayan itu merapikan meja di sudut yang sepertinya hanya punya satu peminat. Dia tahu pasti, besok besok saya akan tetap datang sendiri.

Kamis, 05 Februari 2015

Februari Ini

Siapa yang memintamu berharap?
Kini tertimbun kamu di dasar ekspektasi hampa udara. Kamu pikir obat masih tersedia, lalu menyepelekan sakit?

Di sana kamu memutihkan dosa, mengampuni cinta, meminta-minta pada punggung yang tak kunjung berbalik. Ingatlah, ada denting yang meminta dipedulikan, wahai Pelupa Waktu!

Yang kamu dengar bukan lagu, bukan. Tak juga tangisan. Februari ini, tak ada perayaan bagi duka, pun penghargaan bagi suka. Sadarlah, ini waktunya tidur.


Jika kamu tidak bahagia, jangan menunggu lagi.
Bahagiakan dirimu sendiri.

Minggu, 18 Januari 2015

Menunggumu Pulang

Ruang ruang mengajarkan kita cara menanti
mengekang sensori pun sorak gejolak di hati
sambil membiarkan udara lalu lalang menembus ventilasi dan pori pori,
ia tetap mengutuk sepi.

Benarkah sabar justru memperpanjang waktu?

Karena rindu itu seperti lapar -- tak kenal basa basi bau!
Maka himpunlah semesta sesingkat masa bersama riuh lagu
lalu pulanglah padaku
seperti selalu.