Kamis, 07 November 2019

Dalam Ruang Sempit (atau Luas?) di Atas

"Jadi, kenapa lagi?"

"Saya takut."

"Karena masa lalumu?"

Ia mengangguk.

"Sudah jera?"

"Tentu. Sayang terlambat. Tidak bisa berbalik. Dan sekarang saya harus berperang melawan sisa-sisa luka yang tak kunjung kering."

"Padahal, dulu kamu tahu itu salah."

"Iya. Iya! Tapi tidak setahu sekarang. Saya dulu bodoh, bodoh. Sekarang pun. Tapi tidak sebodoh dulu."

"Nah. Lebih bodoh, maksudnya?"

"Tidak. Jangan sampai."

"Kalau masih takut, bisa jadi."

"Cukup." Ia menunduk, menutup wajahnya.

"Banyak kebaikan, cinta, pun kesenangan yang sebenarnya terjadi di hadapanmu. Sayang, matamu terlalu sempit untuk melihat ke luar. Sebaliknya, mereka malah melihat ke dalam, pada isi kepalamu yang isinya melulu keburukan. Trauma. Prasangka. Atau apapun itu untuk menyiksa hatimu sendiri.

"Tapi... bagaimana jika semua itu benar?"

"Bagaimana jika tidak? Pada setiap doa yang sepatutnya membuatmu tenang, kamu malah khawatir. Memangnya kamu bersandar pada siapa? Apa tujuanmu? Dunia? Atau yang kelak menjadi kekalmu: akhirat? Kenapa ketakutanmu segala berupa fana? Ke mana imanmu? Sekali lagi, pada siapa kamu bersandar? Dirimu sendiri? Manusia?"

Ia terisak. "Bolehkah saya menyesal... karena memilih ini?"

"Siapa yang memilih ini? Kamu?"

Ia menghela napas.

"Sekuat apapun kamu memilih, tetap saja, kamu sesungguhnya dipilihkan. Tidak ada satupun kejadian yang adalah kehendakmu semata. Ingatlah, semua itu ditentukan. Dan yang menentukan bukan kamu, meski kamu sangat ingin."

"Kadang saya ingin kembali... lalu memilih jalan berbeda."

"Apa jalan berbeda itu lebih baik dari sekarang?"

"Tidak tahu."

"Betul. Belum tentu. Bisa juga lebih buruk, kan?"

Ia mengangguk.

"Maka tidak usah berharap yang aneh-aneh. Kejadian mungkin berulang, tapi umurmu tidak. Kecuali, semua yang sudah terjadi ternyata adalah mimpi."

Ia tertawa. "Mimpi yang panjang sekali."

"Tapi bukan. Ini nyata. Dan inilah yang dipilihkan untukmu. Untuk kamu hadapi, kamu kuasai, atau setidaknya atasi. Untukmu belajar. Meski kamu tak belajar-belajar juga."

Ia menatap sudut kosong sambil menutup separuh wajahnya yang masih basah.

"Ini dunia. Semua, semua akan lewat. Tapi tidak dengan pilihan-pilihan yang kamu buat. Semua akan kamu bawa pada neraca."

"Saya harus bagaimana?"

"Mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat."