Sabtu, 23 Agustus 2014

Televisi

Tombol remote TV yang kupegang masih terus tertekan. Hari sudah berubah, tapi berita tak lekang berulah:

Kanal 1 : Kabar komedian yang sedang sakit parah dan berobat di luar negeri

Kanal 2: Darurat predator anak; berita seorang lelaki muda yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual pada sedikitnya 100 anak

Kanal 3 : Liputan seorang bakal calon presiden yang tengah menggenjot pencitraan untuk meraup simpati

Kanal 4 : Dialog antar politikus dan wakil rakyat dengan hentakan suara keras disertai bahasa tidak jelas

Kanal 5 : Film kartun

Kanal 6 : Gambar kerumunan orang tua hingga anak-anak yang terlihat seperti kerasukan – rupanya sedang menari-nari diiringi musik dangdut di sebuah reality show.

Kutekan tombol untuk kembali ke kanal 5.
Inilah aku yang sedang menantimu pulang: berdamai dengan televisi.

Gambar warna-warni di layar LCD masih terus beranimasi dengan volume nyaris nol. Kupejamkan mata; membayangkan bagaimana jika kujatuhkan saja televisi ini hingga pecah terburai – agar ia tak riuh lagi. Ya, aku bisa beralasan tak sengaja menyenggolnya saat berusaha membersihkannya pagi tadi. Atau, kubawa ke depan jalan sana lalu menawarkannya ke tukang loak yang lewat. Aku bisa menjelaskan tadi sedang lupa mengunci pintu saat ke warung, dan pulang-pulang televisi itu sudah raib.

(Aku bisa membayangkan ekspresimu mendengarnya.)

Tapi saat kubuka mata, kudapati diriku hanya terbaring lemas di depan benda elektronik gaib ini. Tidak bisa kusentuh dirinya; berjayalah ia pada tahtanya di atas rak dikelilingi para pemujanya: radiotape, DVD player, playstation. Kupandangi ia dengan picing – samar-samar tersenyum ia padaku. Sial, ia membaca pikiranku.

Ya, ia tahu aku membutuhkannya. Meski sekadar jadi penabur bising saat sedang senyap, atau jadi penyumbang cahaya yang tidak monokrom seperti lampu. Sekadar jadi alarm bahwa sedang ada topik usang yang sedang bergoyang sporadis di negeri ini. Atau sekadar jadi sosok lain menemani makan malam kita yang tidak protes ketika diabaikan.


Suara ketukan di pintu – kamu pulang. Akhirnya! Kuhirup nafas dalam-dalam, kutegakkan duduk, dan dengan mantap serta rasa puas kutekan tombol merah di ujung kiri atas remote yang sedari tadi balas menggenggamku erat. Power off. Matilah kau! Tak berdayalah kau!


Kusegerakan membuka pintu agar bisa langsung memelukmu. Tanpa iringan musik dangdut, tanpa pencitraan, tanpa retorika.  Bebas aku bersamamu, manusia sungguhan tanpa piksel. Hingga nanti, kamulah yang menyalakan ia lagi – saat sedang butuh bising-bising kosong tanpa urgensi itu.