Sabtu, 15 Desember 2012

Kamu, yang Tak Pernah Selesai

Mungkin kamu marah jika saya jujur:
kamu bodoh.
Selalu saja kamu tergila-gila pada perempuan yang salah. Ingat saja pacar pertamamu yang pergi setelah tahu kamu tidak kaya-kaya amat. Atau, gadis yang baru saja kamu dapati mengecup hangat sahabat kental yang kamu juluki soulmate itu.
Kamu pun tak punya selera.
Musik, film, buku, fashion -- tidak, tidak ada. Arus, adalah identitasmu yang terus berubah.

Tapi kamu baik. Sungguh.
Kamu punya sepasang tangan yang tulus memberi segala yang kemudian kamu lupakan. Dan matamu, yang turut berbinar saat memastikanku senang. Kamu adalah orang yang pertama kali siaga saat larut malam saya jatuh sakit.
Dan sejauh yang kuingat, kamu cukup sabar menunggu saya.

Saya, yang dalam waktu yang sama,
sedang menunggu dia.
Saya masih ingat caramu memandang ketika dia datang, dan merampas semua waktu yang tadinya luang untuk kamu ganggu. Juga, kamu yang tetap betah berjam-jam mendengarku memujinya. Semua yang saya kira cinta, mulai dan berakhir di depanmu.
Kamu, selalu ada ketika bahagiaku menemui ujung.

Sampai di suatu malam, saat kamu dan saya sedang terhempas bersama,
menertawai kesialan atas kisah cinta yang tak kunjung sukses, kamu menawarkan sebuah harga:
Persahabatan ini, dengan mengubah sejumlah sudut pandang tertentu, bisa menjadi cinta, katamu.
Saya sungguh-sungguh terkejut -- termasuk terkejut dengan reaksi saya sendiri yang turut percaya.
Malam itu kita habiskan dengan saling menggenggam, berkeliling kota, sangat mabuk, terus berpeluk. Tapi, separuh sadar kita tahu, pelukan sudah cukup.

Kita berhenti di situ, malam itu juga.

Waktu, jarak, kehidupan sosial, cinta, kebanggan material, membuatmu terus berkembang dan dengan naturalnya, menjauh. Pun, saya bagimu. Ketika bertemu terakhir kali, kemarin pagi, saat menunggu bus menuju kantor, kukira bermimpi mendengar suaramu.
Ternyata benar kamu, melihatku dengan tersenyum, menarik tangan seorang perempuan. Istriku, katamu. Tidak lagi ada ucapmu yang sungguh kusimak setelahnya.

Telah kuhabiskan berlembar kertas dan bergigabyte file untuk menyusun akhir yang tepat bagi sejarah tentangmu. Seluruh dunia tahu sedalam apa arti saya untukmu. Seluruh dunia, kecuali saya.

Mungkin kamu kecewa jika saya jujur:
saya tidak mencintaimu.
Atau, belum.
Karena semua perahu yang membawa rumus tentangmu, tak pernah sampai di tepi.
Semua buku yang berjudul namamu, tak punya bab akhir.
Kamu, adalah tulisanku yang tak pernah selesai.

Maka, ketika itu kamu me


Senin, 10 Desember 2012

Desember












Bermain teka-teki mungkin telah menjadi hobimu
sejak lahir, tumbuh,
atau ditinggalkan cinta yang
padanya kau bernaung

Aku,
tetap kau jadikan satu baris kosong kotak-kotak di sudutmu
tak kunjung kau sentuh dengan jawaban, bahkan
tidak juga dengan pertanyaan pasti

Di sini, di pertengahan Desember
ku tetapkan misi untuk menjawab sendiri
pertanyaanmu untukku.

Jumat, 07 Desember 2012

Liebestod


Liebestod

Doa

Bahwa pernah suatu suatu malam aku berlutut,
menangisi ketakutan akanmu, rumahku sendiri,
yang dengan instan berupa mencekam, kasar, menipu

Bahwa pernah suatu malam aku bersimpuh,
mencari satu rongga kecil di rumah
untukku sembunyi dari segala tak terdeteksi itu

Bahwa pernah suatu malam aku lari
dari ruang penuh pikirku sendiri:
tempat kau selalu berhasil menemukanku.

________________________________________________________________
saat jeda dari fluks di suatu malam, untuk lompat ke fluks selanjutnya

Sabtu, 03 November 2012

Kelakar

Saya tahu, kamu sedang disibukkan dengan angka-angka di layarmu
dan aku, sedang menyibukkan diri dengan huruf-huruf di bukuku
Kita tahu, tidak ada kewajiban memang buat mencinta
apalagi memprogramkannya pada daftar di dalam doa

yang tidak kita tahu adalah mengapa
kita pulang setiap malam ke rumah yang sama
mengatur jadwal yang seragam tiap akhir pekan tiba
berbusana sewarna ke setiap pesta

Pun, tak kita setujui,
secantum kata paksa di KBBI mampu mendefinisi

Tapi tak sekalipun kudengar kamu berniat lari
atau tetangga mencaci
atau iblis menggurui
atau Tuhan memusuhi

Kamu membisikkan cinta,
yang kudengar sebagai kelakar.


Perempuan itu lalu tertawa, dengan suara melengking dan menggaung sendiri.

"Opera ini tak lucu!" kata seorang penonton.
Sebelum berbalik pulang, mereka lempari panggung itu dengan botol-botol aqua
dan sobekan tiket renta.

Kamis, 01 November 2012

Lakon




Invitasi Teater Indonesia
wilayah Makassar, 29-31 Oktober 2012

Rabu, 17 Oktober 2012

Klub Anti Hujan


Entah kapan aku bisa mencintai hujan. Lima belas menit yang lalu, usai pertemuan denganmu, hujan tiba-tiba mendera di tengah perjalanan. Bencinya aku minta ampun. Mereka berhasil membungkus kenangan tentangmu, yang baru saja berlalu. Sialnya, entah kapan lagi waktumu bisa kunikmati. Ribuan kutukan pun kukirimkan pada titik-titik yang membuatku setengah mati merindukan beberapa menit yang lalu itu. Mengapa mereka tak bisa berkompromi?

Entah sejak kapan aku mulai membenci hujan. Sejak lahir, mungkin, ya. Beberapa alasan yang cukup logis tepatnya seperti ini:

  1. Mereka layaknya kelompok penyanyi yang punya terlalu banyak penggemar. Semenit yang lalu, notifikasi media sosialku dipenuhi oleh pemujaan terhadapnya!
  2. Mereka kadang sembunyi terlalu lama di balik mendung, hanya agar dirindukan. Aku tahu trik itu.
  3. Mereka punya semacam hipnotis memabukkan. Lebih parah dari alkohol.
  4. Mereka juga punya rol-rol film masa lalu kita, lalu mereka proyeksikan seenaknya saat menyentuh tanah. 

Selain itu, aku sungguh dirugikan. Semua topengku, yang jerih payah kuukir, meluntur mudah dengan gravitasinya.


Entah kapan aku bisa mencintai hujan. Mungkin nanti, ketika mereka telah membuat kesepakatan denganmu, untuk selalu datang bersamaan. Semua bisa butuh penawar, kan?

Minggu, 14 Oktober 2012

Fades


Just when you thought I gave you heart,
you ruined it

Sabtu, 13 Oktober 2012

Bahasa

Entah bagaimana membahasakan ini
kamu pun pasti tak setuju ini dibahasakan
hingga ribuan halaman kamus tersara-bara
pun tak kamu temukan bahasa yang tepat

di sini, waktu berhenti
kamu menikmati kini
aku menikmati segala nanti yang tak terdeteksi

Maka bagaimana jika
kita membuat kamus, kata, bahasa sendiri?
Perlahan menyusun dari A,
atau huruf apapun yang kamu suka

Untuk itu, mari segera bertemu.
Hm... Malam nanti?

Selasa, 09 Oktober 2012

A Monochrome Prologue



It was Saturday night. John and I were going to ride.
We talked about many things. Maybe everything.

John was so scared. He was afraid of the unknowns. Just like a child afraid of nightmares. He couldn't touch it, nor see it. But somehow, he could feel it. Cold into his bones. Sharp needles through his brain.
He was broken and frozen.

John looked out over the window. Nothing changed; the sky, trees, and several thunderbolts. He closed his eyes deeply, deeper. Ran to the kitchen, said this repeatedly over and over:

"Est omnia illusio! Est omnia illusio!"

I said, John, I would go.He said, I know. And I said, you could go with me. He said, no, I'd rather stay.

He is late, late, I know. But I can feel him in my hereafter. I kiss him while he's dying - and me, myself, is reborn.



Born to kill the pasts: us.

Minggu, 30 September 2012

Kalah

Semudah waktu mempermainkan proyeksi
dan aku yang terus memperjuangkan persepsi
Kamu, berhenti memotret celah
juga dia, yang menjual-jual salah

Siapa yang akan memulai?
Promosi, promosi
Modus, modus

Sini, biar kuremuk kertas kontrak itu
dengan seduhan kopi panas
Katamu ini marah,
kataku, aku kalah.

Senin, 24 September 2012

Jam Makan Siang



Bercangkir-cangkir espresso telah kita habiskan untuk menjamin salah satu dari kita tidak beranjak. Kau, juga aku, sama-sama punya kesibukan lain yang mengejar. Tapi apa ini? Kau dan aku terduduk tenang, kadang saling memandang, meneguk ratusan bujukan kafein yang menendang.

Segala ribut-ribut itu hanya di hati.
Di sini, hembusan nafas dan lantunan sayup suara Sarah Vaughan yang jadi juara. Selebihnya, dua orang yang memaku terus diam, takut jika sedikit kata saja bisa merusak segalanya. Kita kehilangan arah, kehilangan awal, hingga akhir pun tak terdeteksi.

Mungkin terbebani dengan paradigma bahwa laki-lakilah yang harus memulai duluan, kau berinisiatif memulai kata.
"Bagaimana harimu?"

"Entahlah. Belum berakhir." jawabku.

"Sejauh ini, maksudku." kau berusaha tersenyum.

"Cukup baik. Kamu?"

Mungkin menyadari aku hanya berbasa-basi, kau balik bertanya.

"Kenapa kamu tidak pernah menjawab teleponku?"

Aku diam.

"Email? SMS? Chat?"

Diam lagi. Kita tahu suasana telah rusak. Aku tahu sekarang tak lagi bisa lari. Kamu tahu, cara termudah memberbaiki ini adalah berhenti bertanya.

"Sudahlah. Tidak apa."

Terkadang, sulitnya menjawab menjadi jawaban yang sesungguhnya.  Kita punya pilihan. Pilihanku adalah untuk membuatmu tetap sempurna di sini, di simulakrum ini, tanpa menyentuh nyata yang mungkin mengeliminasi kau yang sebenarnya. Nyata pun kadang palsu, kan?

Di sini, dalam waktu singkat makan siang, kita mencari sisa celah untuk kelak dibungkus rapi. Beberapa jam kemudian, kau akan duduk di pesawatmu dan aku di meja kerjaku. Kau akan terjebak macet dan aku akan pulang dalam sepi. Kau akan... entahlah. Menikmatimu di sini tidak akan kurusak dengan segala nanti-nanti.

Bagaimana pun, kau, adalah satu-satunya senyawa yang mengubah kafeinku menjadi detak jantung.

Sampai bertemu lagi, Mimpi.

Jumat, 07 September 2012

Penuh




Aku mencari titik yang kosong di antara detik huruf-hurufmu

Kamu serahkan jadwal, nomor ponsel. serta nota

Bisakah kita membeli kesempatan?
tanyaku.

Bisakah kita membeli mesin waktu?
kamu balik bertanya.

Karena penuh telah menghabiskan jatahmu
untuk memikirkanku
yang semakin kecil, terus mengecil
dalam rongga yang sesak
di tumpukan buku jurnalmu.

Kamis, 12 Juli 2012