Sabtu, 26 November 2016

Melepas Pelukan Musik

"Apa band favoritmu sepanjang masa?"

Jika pertanyaan itu dilontarkan pada saya, dengan mudah saya akan menjawab, "Coldplay." Saat sedang sendu, saya juga memilih mendengarkan lagu-lagu The Beatles atau Copeland. Tapi untuk dinyanyikan, saya cukup mahir membawakan hits milik Adele atau Norah Jones.

Sekilas hal ini tampak biasa. Tidak ada yang aneh atau berlebihan, kan?

Sampai tulisan ini 'menjumpai' saya pada suatu waktu;

"Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.”
HR. Bukhari, no. 5590

(http://muslim.or.id/20706-benarkah-musik-islami-itu-haram.html)

Baiklah, saya mengaku. Sayalah yang mencari tahu hukum tentang musik ini. Sebab bukan kali pertama saya mendengar bahwa dalam Islam, musik berhukum haram. Saya sesungguhnya sedang mencari pembenaran untuk tetap bisa mendengarkan atau menikmatinya.

Tapi yang saya temukan justru dalil yang memberatkannya. Tidak hanya hadist, saya pun tertegun menatap ayat ini;

"Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Lukman: 6)

Tidak ada kata musik? Baiklah. Tapi saya tahu bahwa terjemahan Al-Quran tak boleh ditafsirkan serampangan. Ada Imamnya. Salah satunya adalah Imam Ibnu Katsir rahimahullah. Dalam tafsirnya beliau menjelaskan bahwa dalam ayat 6 tersebut, Allah menceritakan tentang "orang-orang yang sengsara, lalu mereka ini berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an dan berbalik arah menuju nyanyian dan musik."

Saya lalu cemas. Benar-benar cemas.

Meski tidak selalu dilarang. Musik dibolehkan dalam Hari Raya dan pernikahan, dengan catatan: hanya dengan rebana, oleh perempuan, tidak mendayu-dayu atau membuat pendengarnya menari-nari (lengkapnya di https://rumaysho.com/372-saatnya-meninggalkan-musik.html ).

Dalam sebuah pesta, hati saya kembali disentak oleh pemandangan di atas pentas: penyanyi yang bersemangat, pemusik yang handal, lalu para tamu (yang kebanyakan tidak muda lagi) yang berdansa serempak di bawah.
Sang penyanyi dan pemusik sedang mencari nafkah, tentu. Tapi, apa mereka sudah tahu hukumnya? Para tamu ikut menari karena alasan sosial atau solidaritas, mungkin. Apa mereka tahu hukumnya? Jika mereka belum tahu, dan mengganggap bermusik itu boleh, apa mereka berdosa?

Saya pun menepuk kepala saya sendiri. Aduh! Untuk apa mempermasalahkan perbuatan orang lain? Saya sendiri bagaimana?

Siapapun yang mengenal saya tahu pasti,  musik dan diri saya adalah dua hal yang sangat lekat. Penyiar radio dan bermain band pernah menjadi jejak di kehidupan saya dulu. Tidak sedikit lagu yang pernah saya cipta dengan bantuan keyboard Roland saya. Singkat kata, hampir setiap hari saya membiarkan kegiatan saya diiringi musik.

Tidak mudah, memang. Sama sekali tidak. Tapi, jika mengingat kembali bahwa hidup di dunia ini cuma sebentar, jika cuma sampai besok saja, maka sampai besok saja 'perjuangan' ini. Saya — seperti semua umat muslim — tak ingin menjadi golongan orang-orang yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai 'mereka yang memohon untuk kembali ke dunia, agar tidak melakukannya lagi'.

Sebenarnya tidak sesulit itu, jika sejak awal mengetahuinya. Kebiasaan-kebiasaan, budaya, dan kehidupan sosial yang tumbuh dengan pengaruh Barat membuat saya — dan mungkin, sebagian besar manusia — menjadi 'lupa' tentang mana yang buruk, mana yang baik. Ketika 'diingatkan' kembali, lantas bingung. Bagaimana cara meninggalkan kebiasaan? Bagaimana jika si itu mengolok saya? Menganggap saya kampungan? Mengira saya terlalu ekstrim? Lalu saya dijauhi? Ditinggalkan?

"Dijauhi keluarga, masih ada keluarga lain. Dijauhi teman, masih ada teman lain. Tapi, jika dijauhi Allah, apa ada Allah lain?" Itu kata suami saya, yang sukses membuat mata saya kabur berair.

Sang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agamamu.

Mari kita sepakat, wahai diri. Tidak ada yang sulit. Jika Allah memudahkan, maka mudahlah. Kita cukup mencoba dan meminta dimudahkan. Sesimpel itu. Mari mulai.

"Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” HR. Ahmad
(https://rumaysho.com/372-saatnya-meninggalkan-musik.html)

Dan sebaik-baik ganti adalah jaminan di surga. Aamiin.

Jumat, 11 November 2016

Jangan Bocorkan,

Hati, ini rahasia kita berdua.
Tentang malam yang dirindu untuk bersembunyi
dari kejaran perampas rasa

Tentang lampu jalan yang meringkuk pudar
karena matahari mulai terbit

Ssst, jangan bocorkan
Sebab genderang berpihak pada yang menang
yang menang berkubu pada yang kuat
sedang yang kuat telah tertutup rapat
dari resah basi rasa.

Jangan bocorkan, Hati,
otak tak perlu tahu
bahwa kita sedang merindu.

Kamis, 26 Mei 2016

Malam Setengah Kosong

Malam masih menunggu ke mana detak detik ini bermuara
sebab pagi tak punya cukup hening untuk membujuk
Jangan, jangan mimpi dulu
mimpi selalu punya cara untuk membekap waktu biar kau lupa
ia yang menunggu masih di bawah sana,
setengah berharap — setengah kecewa
dalam ironi ganjil bernama cinta
yang membuat semua ini kian buram;

Kaukah itu yang dipeluk?
Atau ruh lain ia masukkan ke tubuhmu?

Jumat, 22 April 2016

Bianglala Hitam Putih

Musim musim bergilir menyeduh halaman yang sama
di fajar dan senja yang sama
Ini bukan samudera, hanya sebuah kolam sempit
Tempat ikan kecil yang punya hanya satu langit

Ini bukan samudera, hanya kolam sempit
tapi bukan berarti tak mungkin kau mati tenggelam
entah karena kram otot, atau kehabisan oksigen

Atau, mungkin ini hanya bianglala hitam putih
berputar turun naik di pasar malam yang sepi
terpancang pada tanah tak ramah
tempat karat memikunkan teguh.

Sabtu, 05 Maret 2016

Fonem Hati

Kepada api, kepada bara yang menggebu
angin meniup sendu sedu
Angkuh terbunuh, gelap pekat
jatuh mayat bersemut

Kau tak bisa membayar cinta,
sama seperti ku tak bisa tetapkan harga
untuk setiap bagian diri yang remuk tercabik pecut tajam
serupa lidah berderam

Kepada kau, kepada tembok berdebu
aku melukis tanda seru:
runtuhlah!

Rabu, 02 Maret 2016

Sakit

Ia tak meminta teduh pada terik
senyap pada yang deras
atau cinta pada yang membatu

Ia hanya butuh sedikit cahaya pada kelam
untuk secarik jalan keluar
atau petunjuk untuk kembali
pada ujung ini berawal
untuk berakhir.

Pada remuk aku memeluk
mati, matilah rasa
di mana segala sakit ini berkiblat.

Kamis, 18 Februari 2016

Diskusi


Ya, aku ingin berdiskusi denganmu
tentang film yang kita tonton, tentang orang orang, tentang politik, tentang rencana, tentang acara bagus, tentang tempat wisata, tentang makanan, bahkan cuaca
Tapi tak kulihat hati di telingamu,
pun telinga di hatimu
Atau mungkin inderamu terlalu tinggi
untuk frekuensi sonarku
Ya, aku akan berdiskusi denganmu, kapan kapan
mungkin di kafe, atau di pantai, atau di busway, atau di pesawat, atau di telepon, bahkan di sekolah
Tapi pastikan udara tak terlalu dingin untuk hati, pun terlalu panas untuk kepala
Agar langit tetap biru, senja tetap jingga
kita tetap menderu, tetap bercita cita,
Dan dunia tak menjelma monokrom
seperti memakai kacamata hitam
untuk menyembunyikan airmata.

Senin, 15 Februari 2016

Lima Februari

Karena tak kan sesuatu itu kekal
maka syukurilah masih adanya
Kelak, nyawaku dan nyawamu
tak lebih dari sekedar tanggal tanggal di kalender

Karena kita masih ada, masih di sini, masih berpegang, masih berjuang
Ingatlah detil yang akan kita pikunkan
tanpa berharap apa apa

Sebab rindu tak harus membuatmu kembali
Rindu tak butuh balas romansa
Rindu itu berdiri sendiri —
hanya butuh ingatan
untuk dipeluk.



(The 13th)

Jumat, 12 Februari 2016

Tenang

Dalam gelap hening malam
kudekap rasaMu
Yang tak henti melindung
Menenang resah
Menyamankan takut
Tak pernah alpa Kau menjawab
bahkan ketika ku sendiri lupa
Padahal tak ada sedikitpun dariku
yang Kau butuh
Tak juga sedikitpun mampuku
laku yang Kau suka
Hanya sajadah di bumi
untukku meluap rindu
Tak ada sedikit ibadahku yang sebanding
akan hakMu atasku
Tak kan pernah sempurna ku menghamba,
namun jika ternyata Kau cintaiku pun,
barulah tenang istirahatku.
Barulah tenangku, Rabbku.

Selasa, 12 Januari 2016

Dosa

Sangat disayangkan bahwa dosa-dosa kita kebanyakan disebabkan oleh orang-orang yang tidak kita sukai. Maksud saya, kadang kita merasa marah, dalam hati mengeluh, tidak ikhlas, atau secara sadar-tak-sadar mulai bergunjing. Semua itu 'untuk' orang yang tidak kita sukai.

Mereka mungkin hanya orang yang bersikap kurang peka. Tidak sengaja menjadi pahlawan dari hasil jerih payah kita, misalnya. Atau mereka yang entah mengapa selalu bersikap ramah pada orang lain, tapi tidak pada kita. Atau yang melontarkan kata-kata menyakitkan hati secara bercanda, sehingga kitalah yang salah jika tersinggung. Atau mereka yang dengan santainya berpakaian terbuka di lingkungan kita yang diusahakan untuk sopan. Atau mereka yang dipuja karena memberikan satu juta rupiah dari ratusan juta rupiah miliknya, sehingga membuat kita yang memberikan seratus ribu rupiah — seluruh milik kita yang adalah hasil kerja keras — menjadi tak berarti.

Atau berbagai jenis orang yang selalu kita coba untuk sukai, tapi tidak kunjung bisa.

Kembali ke dosa. Yang menjauhkan kita dari Tuhan, dari diri sendiri, dan membuyarkan semua arah. Hilang kontrol yang membuat kita tak peduli. Kalau dosa itu untuk orang yang kita cintai, tetap saja buruk sih, tapi masih mending (sambil tertawa). Sayangnya, sekali lagi, dosa kita kebanyakan adalah untuk mereka yang... yah, tidak berkesan baik bagi hati kita. Dosa-dosa sepele yang sedikit-sedikit mulai melangit.

Semoga Tuhan, lewat akal sehat kita, atau orang-orang baik di sekeliling kita, atau dengan cara apapun selalu mengingatkan kita bahwa, "Come on, it's so not worth it. It doesn't a bit degrade the value of you. It won't even help you in the afterlife!" Sehingga terlepaslah kita dari jebakan dosa-dosa 'kecil' yang menyibukkan pikiran. Yang menciutkan kedewasaan menjadi kekonyolan kanak-kanak (tanpa kesan lucu, tapi). Kalau tidak bisa suka, lupakanlah mereka yang tidak kita sukai, lalu bersibuklah membuat yang kita sayangi tertawa. Ingat, merekalah yang selalu melihat kita.