Senin, 13 Juli 2020

Telaah Setelah Lelah

Luka Fisik

Dulu, saya pernah bertanya pada seorang ibu yang renta, "Bagaimana rasanya melahirkan berulang kali? Apakah proses melahirkan yang kesekian kali sudah tidak terasa sakit lagi?"

Ia tertawa sambil mengelak. "Tentu tidak. Tetap sakit," katanya. Bahkan, beberapa mengatakan sakitnya melahirkan anak ketiga atau keempat kerap terasa layaknya melahirkan anak pertama: deg-degannya, persiapannya, hingga dera pulihnya. Saya hanya mengiyakan. Tidak punya pengalaman untuk menimpali.


Luka Psikis

Lalu, bagaimana rasanya berpisah dengan orang terkasih berulang kali? Melepas kepergian orang tua, contohnya. Atau suami, atau istri, atau anak. Pada mereka yang sering berduel dengan jarak, kita mungkin berpikir, "Dia sih sudah terbiasa, sejak dulu kan sudah sering berjauhan! Tentu lebih mudah ketimbang mereka yang puluhan tahun terbiasa bersama."

Pada kenyataannya, setiap perpisahan memiliki momentum yang berbeda-beda. Keadaannya berbeda, kesiapannya berbeda, sakitnya pun berbeda. Tidak ada yang lantas menjadi kebal setelah berpisah berulang-ulang. Kita mudah terbiasa pada hal menyenangkan. Tapi, semudah itu pulakah habituasi pada yang tidak disenangi?

Qadarullah. Tak ada satu pun yang berjalan sendiri. Diizinkan untuk tenang bersama lebih lama sepatutnya menjadi tabungan untuk bersyukur lebih banyak pula. Ya, sepatutnya begitu. Ungkapan syukur Nabi Ayyub 'alaihissalam yang merangkulnya pada kesabaran harusnya menggaung di kepala:
Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullah)

Menghadapi luka pada fisik maupun psikis memang butuh persiapan. Walaupun kita tahu bersiap-siap tidak menjamin kita benar-benar siap.


Mati

Ini baru 'sekadar' luka. Belum mati. Apa kabar persiapan mati? Apakah menghadapi luka membuatmu betah berlama-lama dalam distraksi?


_________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar